27 Mar 2024

QUO VADIS CIREBON TIMUR?

oleh
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Isu pemekaran Kabupaten Cirebon sudah lama beredar. Terakhir, pembentukan calon daerah persiapan otonomi baru (CDPOB) Cirebon Timur sudah disepakati oleh Bupati Cirebon kala itu bersama DPRD Kabupaten Cirebon. Pembentukan CDPOB Kabupaten Cirebon yang sebelumnya santer beredar-- kini bolanya bergeser ke Provinsi Jabar. Terkait hal itu, masih ada beberapa langkah yang harus dilakukan. 

Memang, beberapa CDPOB yang pada mulanya belum terdengar kini justru sudah melenggang ke Jakarta. Namun, yang melenggang ke Jakarta pun prosesnya lantas "terhenti". Semua menunggu "pintu" dibuka kembali oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI. 

Ternyata masih ada masalah serius yang menghadang. Itulah moratorium yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat terkait pembentukan daerah otonomi baru. Namun, dari segi potensi, sesungguhnya Cirebon Timur tidaklah menghkhawatirkan. 

Lihatlah betapa pesatnya perkembangan wilayah Cirebon Timur. Begitu banyak pabrik sudah berdiri di sana. Ada pula pembangkit listrik yang menghasilkan daya begitu besar. Banyak pula berkembang tambak ikan dalam skala yang tidak kecil. Dengan kata lain, geliat perekonomian di wilayah Cirebon Timur bisa dikatakan sangat pesat. Artinya, dari sisi potensi, tanda-tanda positifnya cukup besar. 

Kabupaten Cirebon memang salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang termasuk dalam wilayah pusat pertumbuhan industri (WPPI) II. Wilayah yang tergolong dalam WPPI dirancang dengan pola berbasis industri dengan pendayagunaan potensi sumber daya wilayah melalui pengembangan infrastruktur industri dan konektivitas yang memiliki keterkaitan ekonomi kuat dengan wilayah di sekitarnya. 

Jadi, sangat jelas bahwa di wilayah Kabupaten Cirebon, termasuk Cirebon Timur, kawasan industri sudah menjadi keniscayaan. Oleh karena itu, wilayah Cirebon Timur pun tidak mungkin mengabaikan pertumbuhan industri yang relatif pesat. Hasil akhirnya tentu saja hal itu pun akan berkaitan erat dengan serapan tenaga kerja yang ada. 

Salah satu masalah serius yang akan terjadi adalah alih fungsi lahan. Hal ini menjadi hal yang sangat lazim terjadi. Setiap pembangunan, apalagi pergeseran peruntukan menjadi kawasan industri, pasti akan diiringi alih fungsi lahan. 

Tinggal bagaimana menjaga agar alih fungsi lahan yang terjadi tidak menggerus Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) yang sudah ditetapkan. Ini menjadi bagian pekerjaan yang harus dijaga secara serius oleh masing-masing pemerintah di semua tingkatan, baik pemerintah Kabupaten Cirebon maupun Provinsi Jawa Barat. 

Di sisi lain, Cirebon Timur relatif masih merupakan wilayah yang terbuka. Lahan kosongnya masih sangat luas. Dalam rencana pembentukannya, Cirebon Timur akan meliputi 18 kecamatan dari total 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon. 

Jika berdiri sendiri, Cirebon Timur akan menjadi kabupaten di Jawa Barat yang secara langsung berbatasan dengan Jawa Tengah. Secara otomatis Cirebon Timur pun akan menjadi gerbangnya. 

Kabupaten Cirebon berdiri 8 Agustus 1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950. Adapun hari jadinya diperingati setiap 2 April. Dengan luas wilayah 1.070,29 kilometer persegi, terdiri dari 40 kecamatan, 412 desa, dan 12 kelurahan, Kabupaten Cirebon memang tergolong sangat luas. Jumlah penduduknya 2,3 juta jiwa lebih dengan volume Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp 3,6 triliun lebih pada tahun 2023. 

Sesungguhnya banyak potensi yang bisa dikembangkan dan bisa juga menjadi sumber pendapatan asli daerah. Misalnya, pariwisata (budaya, religi, kuliner). Industri di Kabupaten Cirebon pun tidak kalah menarik, semisal pengolahan rotan, kulit kerang, dan batik. 

Sebagaimana terjadi pula di beberapa wilayah lainnya, ada fenomena menarik, yakni rekrutmen karyawan mayoritas untuk wanita. Konsekwensinya, lebih banyak laki-laki yang menganggur. Terlepas dari berbagai pertimbangan yang ada, kebijakan seperti ini berpotensi menimbulkan kerawanan sosial. 

Semoga saja situasi tersebut tidak mengurangi keimanan sebagian masyarakatnya. Namun, fenomena ini tetap membutuhkan penyelesaian. Jika terus dibiarkan, bisa jadi, akan menimbulkan dampak yang tidak kita inginkan. 

Dari segi aksesibilitas sebenarnya sekarang sudah terbangun secara lebih baik. Gerbang Tol Kanci dan gerbang Tol Ciledug benar-benar menjadi pintu keluar-masuk yang sangat strategis. Ada pula terminal tipe B di Ciledug milik Provinsi Jabar. 

Memang  terminal Ciledug belum berfungsi maksimal. Namun terminal tersebut ke depan akan menjadi sarana yang sangat berguna, tidak hanya untuk masyarakat Cirebon Timur, tetapi untuk masyarakat di sekitarnya. 

Cirebon Timur membutuhkan perhatian serius dalam hal penangan jalan-jalan desa. Banyak jalan desa yang rusak parah sudah bertahun-tahun tak tesentuh pemerintah, baik Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat, maupun Pemerintah Pusat. Cobalah tengok, salah satunya yang paling mencolok, jalan akses dari/ke pecantilan Desa Tawangsari di Kecamatan Losari. 

Desa Tawangsari terbelah menjadi dua. Satu sisi termasuk Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. Sisi lainnya termasuk Kecamatan Losari Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Akses menuju pecantilan Desa Tawangsari di Kabupaten Brebes dari desa induknya hanya bisa dilalui dengan sepeda motor. Bisa dibayangkan jika ada penduduk yang akan melahirkan. 

Jika menggunakan mobil, mereka harus melalui Kecamatan Losari Kabupaten Brebes. Padahal jalur itu sangatlah paraaah. Selain sempit, jalannya juga sudah penuh lubang. Jika  hujan, jadilah kubangan yang tak bisa diterka kedalamannya. Jalan seperti ini butuh penanganan serius. 

Satu hal yang juga harus menjadi perhatian di Cirebon Timur. Wilayah ini setiap tahun secara rutin mendapat "berkah". Ya, setiap tahun Cirebon Timur dilanda banjir. Penyebabnya adalah meluapnya air dari Sungai Cisanggarung dan Sungai Ciberes. Saya kerap menyebut musibah yang satu itu akibat penanganan Ciberes yang Tak Beres-Beres. 

Itulah beberapa gambaran singkat soal CDPOB Cirebon Timur. Nasibnya memang menunggu dicabutnya moratorium oleh Pemerintah Pusat. Namun, sebelum itu sebaiknya ada uluran tangan untuk menyelamatkan anak bangsa yang secara kebetulan saja tinggal di beberapa wilayah "terpencil". 

Benarkah Kabupaten Cirebon Timur akan menjadi CDPOB? Seberapa besarkah peluang keberhasilan pemekaran Kabupaten Cirebon yang "terlalu gemuk" dengan 40 kecamatan itu? 

Lantas, akankah isunya terus bergulir dan berujung pada pembentukan CDPOB Provinsi Cirebon? Kita tunggu saja tanggal mainnya.

22 Mar 2024

Kasus DBD di Desa Ciawijapura Meningkat, "akibat lambannya penanganan"

INDOMEDIANEWS - Lambannya tindakan dan penanganan dari pihak terkait, Kasus Demam berdarah dengue (DBD) terus meningkat di Desa Ciawijapura, Kecamatan Susukanlebak, Kabupaten Cirebon sejak pertama terjadi pada 26 Februari 2024 lalu. Tercatat, hingga dalam satu minggu ini, menyusul puluhan warga khususnya di Blok Cikondang, Desa Ciawijapura positif terjangkit DBD dan langsung dilakukan perawatan di berbagai faskes di Kota dan Kabupaten Cirebon. Wabah DBD perlu penanganan cepat dan responsif yang serius, mengingat kasus kematian akibat gigitan nyamuk Aedes Aegypti itu banyak terjadi. Atas lambannya pemerintah atau pihak terkait, warga masyarakat di Blok Cikondang, Desa Ciawijapura secara gotong royong dan urunan melakukan penyemprotan fogging di lingkungannya sebagai bentuk antisipasi dan meminimalisir penyebaran nyamuk yang mematikan tersebut, Jum'at (22/3).

Sopyan Iskandar, warga Blok Cikondang mengatakan, kasus pertama DBD di lingkungannya terjadi sejak 26 Februari 2024 lalu, menyusul pada 16 Maret kemarin atau dalam kurun satu minggu ini terhitung total sebanyak 12 orang terdiri dari 8 anak anak dan 4 dewasa positif terjangkit DBD. Seluruh korban langsung dilarikan ke Rumah Sakit dan Puskesmas untuk mendapatkan pertolongan dan perawatan medis, bahkan terdapat 2 remaja terindikasi panas dan masih dalam perawatan di rumah sakit dan puskesmas terdekat. 

“Dari 12 korban yang sempat di rawat di rumah sakit, hingga hari ini masih terdapat 3 korban DBD dalam penanganan pihak rumah sakit dan puskesmas,“ tuturnya.

Senada disampaikan Bo'im yang juga merupakan warga setempat, memandang pemerintah dan pihak terkait dirasa kurang responsif untuk melakukan penanganan dan pencegahan sejak awal kasus ini terjadi. Untuk itu, dengan melonjaknya korban DBD di lingkungannya, warga secara suka rela dan gotong royong melakukan Fogging seadanya sebagai bentuk upaya pencegahan sebaran DBD agar tidak semakin meluas. 

“Jangan menunggu terjadi dulu kasus kematian, baru bergerak. Kami ingin para pihak terkait serius dan lebih aktif ketika sejak awal kasus seperti ini terjadi,“ harapnya. (1c)

Memperkuat Demokrasi Berkontribusi Pada Negeri

INDOMEDIANEWS - Lembaga Survey Poling Cerbon (LSPC) telah hadir untuk turut memberikan kontribusi dalam menghadapi pemilihan bupati dan wakil bupati Cirebon tahun 2024. 

Secara resmi Lembaga Survey Poling Cerbon (LSPC) siap melakukan survey dalam menghantarkan pemimpin sesuai hasil dari keinginan dan pendapat masyarakat di kabupaten Cirebon baik dari kalangan menengah ke bawah dan menengah atas.

Hal ini disampaikan ketua Lembaga survey Poling (LSPC) , Jahir, pihaknya akan mengerahkan semua tim yang akan terjun di wilayah kabupaten Cirebon dengan 40 kecamatan dan 412 desa untuk meyakinkan poling yang aktual dari masyarakat untuk calon  bupati dan wakil bupati Cirebon.

"Lembaga Survei Poling Cirebon (LSPC) akan bersinergi dengan kuwu ,perangkat desa serta dukungan masyarakat dalam memilih kepada pasangan bupati dan wakil bupati Cirebon," Tandasnya kepada media. Kamis ,20/3/2024.

Tidak hanya itu, dari pengalaman berbagai pemilu, Pileg dan pilkada di Indonesia, peta kompetisi di masa-masa calon bupati dan wakil bupati Cirebon, dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kira-kira kemungkinan perolehan suara masing-masing kontestan, tentu dengan mempertimbangkan kemungkinan perubahan. 

Lebih lanjut ditambahkan , bahwa elektabilitas dukungan untuk masing-masing peserta pemilihan Pilkada. Dan, apakah peta mutakhir tersebut dapat memberikan gambaran dari lembaga poling Cerbon (LSPC).

"Untuk menjawab pertanyaan tersebut, LSC akan melaksanakan survei ke 40 kecamatan dan 412 desa di wilayah kabupaten Cirebon," ungkapnya.

Jadi, salah satu yang mendorong berdirinya LSPC adalah masyarakat Indonesia khususnya di kabupaten Cirebon yang kerap kali memvalidasi opini yang cenderung bersifat populer atau viral.

Maka dalam rangka merawat dan memperkuat demokrasi, LSPC turut serta berkontribusi pada negeri ini agar demokrasi kita semakin sehat. 

" Semoga dengan kehadiran Lembaga Survei Poling Cirebon (LSPC) ini, turut berkontribusi untuk memperkuat, mematangkan calon bupati dan wakil bupati Cirebon dengan demokrasi seutuhnya,” ungkap Jahir.

Selain itu LSPC juga dituntut untuk melakukan aksi-aksi kemasyarakatan yang berkaitan dengan politik yang dapat bekerjasama dan bergabung untuk melakukan riset daerah maupun nasional.

" LSPC akan membuka layanan survey bidang politik, kebijakan publik, serta ekonomi dan bisnis. Visi Lembag Survei Poling Cerbon adalah untuk menjadi lembaga survey masyarakat yang Aktual di kontestan pemilihan bupati dan wakil bupati Cirebon," pungkasnya. (1c)

21 Mar 2024

UU HKPD: TURBULENSI APBD PROVINSI JABAR JILID II

oleh
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat pernah mengalami turbulensi. Volume APBD Jabar tahun 2022 secara keseluruhan adalah Rp 31,890 triliun. Berarti, ada penurunan sekitar 28% dari Rp 44,72 triliun pada tahun sebelumnya. Ini yang saya sebut turbulensi jilid I.

Secara global volume APBD terdiri atas tiga bagian, yakni pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah tahun 2022 sebesar Rp 31,148 triliun. Ini berarti ada penurunan sekitar 24% dari tahun 2021 yang sebesar Rp 41,47 triliun.

Pada 2025 APBD Provinsi jawa Barat diprediksi akan mengalami turbulensi jilid II. Volume APBD diprediksi turun dari Rp 37 triliunan pada 2024 menjadi Rp 29 triliunan pada 2025. Itu artinya APBD Provinsi Jawa Barat berkurang sekitar Rp 8 triliun atau sekitar 21,62%.

Turbulensi jilid II terjadi sebagai akibat perubahan persentase dana bagi hasil (DBH). Perubahan persentase itu adalah konsekwensi logis pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

Persentase bagi hasil antara provinsi dengan kabupaten/kota bisa dikatakan berubah drastis. Provinsi yang semula biasa mendapat sebesar 70%, mulai tahn 2025 hanya akan menerima sekitar 34% saja. Sementara itu, kabupaten/kota yang biasanya hanya menerima 34% justru mulai 2025 akan meningkat tajam menjadi 66%.

Hal itu jelas akan mengubah postur semua APBD provinsi maupun kabupaten/kota. Otomatis pula itu akan mengubah volume belanja di banyak sekali pos anggaran belanja. Dalam APBD Provinsi, mayoritas akan berkurang, sedangkan di APBD kabupaten/kota akan banyak program/kegiatan yang mengaliami penambahan volume secara drastis.

Lantas, bagaimana nasib pembangunan provinsi dengan jumlah pennduduk terbesar di Indonesia ini? Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk hampir 50 juta jiwa pasti akan mengalami shok jilid II. Berkurangnya volume APBD Provinsi Jawa Barat akan berakibat pada banyaknya pemangkasan alokasi anggaran di banyak pos belanja di banyak organisasi perangkat daerah.

Dengan kondisi seperti itu, masih mungkinkah Provinsi Jabar berkembang? Masih mungkinkah Pemerintah Provinsi Jabar melakukan pembangunan monumental seperti pada tahun-tahun sebelumnya? Tidak mudah memang melakukan sinkronisasinya, tetapi hal itu tetap harus dilakukan.

Kini kemajuan pembangunan di tingkat kabupaten/kota justru amat tergantung pada kebijakan di kabupaten/kota. Bantuan keuangan yang biasanya mengalir cukup besar dari Provinsi Jabar ke kabupaten/kota bisa jadi akan berkurang pula volumenya. Ini pun butuh penyelarasan di sana sini.

Kabupaten/kota diharapkan mampu membiayai banyak pos yang selama ini banyak bergantung pada bantuan keuangan provinsi. Peningkatan volume APBD kabupaten/kota diharapkan mampu membiayai program/kegiatannya secara lebih maksimal, efektif, dan efisien.

Sementara itu, APBD provinsi tampaknya harus lebih banyak digunakan untuk penguatan target-target yang dibebankan ke Pemerintah Provinsi. Tentu saja dengan demikian semua diharapkan berjalan simultan untuk mewujudkan visi dan misi Indonesia Maju 2045.

Pertanyaannya: seberapa kuat keinginan itu? Para pengambil kebijakan di daerah, gubernur dan DPRD Provinsi, serta bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota.

Terlepas dari beberapa sengketa yang akan menunggu  keputusan Mahkamah Konstitus karena sengketa pileg, hasil pileg 2024 sudah diketahui. Artinya, calon-calon terpilih yang anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sudah diketahui. Namun, ada yang tak kalah penting, yaitu para calon bupati/walikota.

Kita tunggu saja hasilnya karena Pilkada serentak baru digelar pada 27 November 2024.

PKL Berdiri nyaman " Hak pejalan kaki dirampas " tanggung jawab siapa ?

INDOMEDIANEWS - Hampir sepanjang jalan utama dari mulai Cipeujeuh wetan sampai Lemahabang, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, Hak pejalan kaki dirampas oleh maraknya PKL ( Pedagang kaki lima ) yang berdiri diatas trotoar tanpa adanya penertiban yang dilakukan oleh Instansi terkait.
Keadaan tersebut membuat bukan hanya pemandangan yang kurang nyaman, namun pejalan kaki yang seharusnya menikmati jalan yang menjadi haknya sekan hanya bisa mengeluh tanpa dapat berbuat banyak.

Kondisi semerawut keberadaan PKL yang bebas berjualan dan mendirikan lapaknya tanpa aturan, mengundang perhatian salah seorang aktifis Cirebon timur, Pepeng.

"Kondisi ini sudah sangat lama dan ada kesan dibiarkan, bahkan kita sebagai warga pengguna jalan jangan terlalu banyak berharap agar mendapat haknya sebagai pejalan kaki, karena sudah dipastikan kalau kita berteriak untuk dulakukan penertiban, ujungnya pasti saling lempar tangan dan tanggung jawab, Pihak Kabupaten akan mengatakan itu tanggung jawab kecamatan, sementara pihak kecamatan pun pasti akan berkata hal yang sama, jadi saat ini kita hanya berharap akan muncul penguasa atau pemilik kebijakan yang berani berbuat tegas sesuai aturan dami ketertiban dan kenyamanan para pejalan kaki" tuturnya, kamis, 21/03/2024.

Lebih lanjut Pepeng menjelaskan, semerawut dan ketidak nyamanan tersebut letaknya tidak jauh dari Kantor Kecamatan Lemahabang.

"Ironis kang, kondisi PKL yang membangun lapaknya sembarangan tersebut letaknya sangat berdekatan dengan kantor Kecamatan setempat, jadi sangat dimaklumi jika hampir sepanjang jalan dari Cipeujeuh hingga Lemahabang banyak bangunan liar, yong deket kantor Kecamatan saja dibiarkan tumbuh dengan nyaman" pungkasnya (1c)

RLS DAN IPM

oleh
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Rata-rata Lama Sekolah (RLS) didefinisikan jumlah belajar penduduk berusia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan formal. Namun, tahun yang mengulang tidak termasuk di dalamnya. RLS merupakan salah satu unsur yang diperhitungkan dalam Indeks Pebangunan Manusia (IPM).

IPM merupakan ukuran capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup sebuah negara. Pendekatan yang dijadikan tolok ukurnya adalah tiga dimensi dasar yang mencakup umur panjang dan sehat (kesehatan), pengetahuan (pendidikan), dan kehidupan layak (laju pertumbuhan ekonomi/LPE).

IPM digunakan sebagai indikator untuk menilai aspek kualitas dari pembangunan dan untuk mengklasifikasi apakah sebuah negara dikategorikan maju, berkembang, atau terbelakang, selain juga untuk mengukur pengaruh kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup.

IPM dan RLS tentu tidak bisa dipisahkan dari urusan sekolah. Stigma yang terbangun di masyarakat selama ini: anak harus masuk sekolah negeri. Hal itu bukan tanpa alasan. Faktor yang paling utama tentu saja terkait masalah biaya. Kita harus akui bahwa pilihan tersebut berkaitan erat dengan kondisi perekonomian sebagian besar masyarakat.

Di sisi lain, jumlah sekolah negeri, khususnya di tingkat SMA/SMK masih terbatas. Hal itu diperparah lagi dengan salah satu kebijakan pendidikan kita, yakni penerimaan murid dikaitkan dengan zonasi. Bagi orang mampu tampaknya zonasi tidak menjadi masalah. Mereka bisa memilih sekolah kualitas bagus meskipun biayanya relatif mahal. Lantas bagi mereka dari keluarga yang kurang mampu?

Zonasi membatasi banyak hal. Salah satu dampaknya,  cukup banyak anak lulusan SMP suatu kecamatan tidak bisa masuk ke SMA di wilayahnya. Contoh riilnya, banyak murid lulusan SMP Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon yang masuk SMA di Kabupaten Kuningan. Meskipun kedua kabupaten itu berada di Provinsi Jawa Barat, ironis rasanya jika hal seperti itu terus dibiarkan. Ini salah satu dampak pemberlakuan zonasi.

Jumlah lulusan SMP yang diterima di tingkat SMA/SMK pasti berkaitan dengan rata-rata lama sekolah (RLS). Kian sedikit jumlah lulusan SMP yang diterima atau melanjutkan ke SMA pasti akan mempengaruhi angka RLS.  Kian rendah RLS, berarti kian rendah pula rata-rata pendidikan masyarakat. Kita semua tahu, pada akhirnya hal itu akan berkaitan pula dengan banyak hal lain.

RLS merupakan salah satu unsur dalam menghitung Indeks Pendidikan. Jika RLS rendah, Indeks Pendidikan juga akan menjadi rendah. Karena Indeks Pendidikan merupakan salah satu unsur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), secara otomatis IPM pun akan menjadi lebih rendah pula.

Sebagai contoh, hingga akhir 2023, Kabupaten Cirebon memiliki IPM 70,95 dengan RLS 7,64 tahun. Raihan IPM seperti itu tentu tidak dapat dipisahkan dari jumlah sekolah (SMA/SMK) di Kabupaten Cirebon.

Dari total 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon, masih 17 kecamatan yang belum memiliki SMA Negeri. Itu berarti baru 33 kecamatan yang memiliki SMA Negeri. Adapun kecamatan yang sudah memiliki SMK Negeri baru 8 kecamatan saja. 

Kecamatan yang sudah memiliki SMAN dan SMKN hanya 4 kecamatan. Bahkan, dari total 40 kecamatan, ada 13 kecamatan yang sama sekali belum memiliki SMAN/SMKN.

Ini baru potret kecil di salah satu dari 27 kabupaten/kota di Jabar. Bagaimanapun ini merupakan pekerjaan rumah yang amat serius untuk para calon kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota mendatang.

Bukankah kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat pendidikannya? Apakah Jabar sudah berpuas diri dengan kondisi seperti ini?

Sudah selayaknya ada intervensi khusus untuk daerah kabupaten/kota dengan raihan IPM yang masih rendah. Bagaimana mungkin IPM Jabar akan meningkat jika kabupaten/kota dengan IPM rendah terus dibiarkan tanpa kepedulian?

Bukankah pula pendidikan, kesehatan, dan laju pertumbuhan ekonomi yang merupakan unsur IPM menjadi kewajiban negara? Bukankah pula, suka tidak suka dan mau tidak mau, salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan adalah IPM?