29 Apr 2020

Penanggulangan Corona Minim Konsep “ maksimal akibat”

R. Agus Syaefuddin  ( Wartawan Suara Cirebon )


Wabah virus corona saat ini telah merenggut ratusan nyawa Manusia tanpa memandang kasta  dan kedudukan seseorang, baik si Miskin, Si Kaya, kaum intelektual maupun kaum yang termarjinalkan.
Akibat dari merebaknya penyebaran Virus yang tak pandang bulu tersebut, membuat Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang entah benar atau tidak keputusannya.
Virus Corona saat ini seakan menjadi sesuatu yang sangat menakutkan hingga membunuh sendi-sendi kehidupan Manusia yang  harus rela melepaskan keyakinannya demi menghindari adanya penyebaran wabah yang semakin merajalela.
Sayangnya, konsep Pemerintah yang bertujuan untuk melindungi dan menolong warga Masyarakat dengan berbagai Program bantuan yang dikemas dalam bentuk Sosial, seakan hanya bersifat uji coba dan pratikum  yang bisa berakibat positif maupun sebaliknya.
Pemerintah menggelontorkan berbagai kebijakan yang mengatasnamakan demi Kemanusiaan namun pada kenyataannya seolah kebijakan tersebut justru menimbulkan persoalan baru.
Semisal mengeluarkan para Tahanan dengan dalih agar mengurangi adanya penyebaran dan penularan Virus karena disebabkan oleh terjadinya kerumunan yang bersifat missal.
Sementara kebijakan tersebut tanpa dibarengi dengan pemikiran sebab akibatnya, toh pada kenyataannya banyak para narapidana yang dikeluarkan dari Tahanan malah semakin membuat onar dan kembali melakukan kejahatan, hal ini dikarenakan napi yang dikeluarkan sulit untuk memperoleh pekerjaan yang layak, sementara perut dan kebutuhan lainnya menuntut dengan  segala konsekuensinya, yang pada akhirnya kejahatan mereka cukup diselesaikan dengan letusan timah panas dan kembali memasukannya dalam deruji besi  untuk berkumpul kembali bersama napi lainnya, lantas apakah kebijakan ini benar ? sebuah pertanyaan yang entah siapa yang harus menjawab dan bertanggungjawab.
Keberingasan virus Corona tidak berhenti hanya sampai disitu, Pemerintah kembali membuat kebijakan dengan mengeluarkan stetmen, bahwa masyarakat yang terdampak Corona akan memperoleh bantuan Sosial dengan berbagai  kemasan, ada yang berupa bantuan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan bahkan memperbolehkan para Kuwu untuk menggelontorkan Dana Desa yang diperuntukan khusus bagi Warga yang terdampak Corona.
Ironisnya, Anggaran Gubernur, Bupati  hingga  pengalokasian Dana Desa bagi warga terdampak Corona  ternyata tidak dibarengi dengan konsep yang jelas, betapa tidak, jika kita bicara Masyarakat terdampak, tentunya semua Masyarakat saat ini secara keseluruhan terdampak dengan adanya Virus Corona.
Namun nyatanya, Bantuan tersebut tidak sesuai dengan fakta Masyarakat dilapangan, betapa tidak, selain keterbatasan Anggaran yang dimiliki oleh Pemerintah Desa yang hanya sebesar 30 sampai 35 %, ditambah Kuota Pemerintah Provinsi yang terbatas termasuk Bantuan dari pihak Kabupaten yang hanya beberapa saja, tentunya bukan saja tidak menyentuh Masyarakat secara keseluruhan, tetapi yang lebih dikhawatirkan akan timbulnya sebuah permusuhan antar warga karena merasa ada ketidak adilan, dan akibat dari semuanya adalah akan berujung pada  penilaiyan Masyarakat  yang menyalahkan pihak Desa yang terkesan tebang pilih atau pilih kasih.
Seharusnya, sebelum Pemerintah mengeluarkan stetment tersebut harus terlebih dahulu melakukan pendataan secara langsung terjun kelapangan dan bukan hanya mengandalkan Data yang belum tentu kebenarannya, apalagi mempergunakan Data yang diambil dari beberapa Tahun sebelumnya, ini jelas sebuah program tanpa konsep dan hanya bersifat uji coba dengan dalih jika ada kesalahan data akan dilakukan evaluasi  yang lebih falid. Bukankah ini akan menimbulkan konflik yang lebih berbahaya dari sekedar Virus Corona.
Mirisnya lagi, keganasan Virus Corona mengakibatkan terjadinya pembatasan dalam melaksanakan ibadah dengan dalih menghindari kerumunan, sementara Pemerintah pun kembali terlihat gamang, betapa tidak, disaat Kaum Muslim memasuki Bulan Ramadhan, dimana  yang biasanya diisi dengan berbagai kegiatan keAgamaan, dari Mulai Buka bersama, Sholat Tarawih, tadarus Al-qur’an dan kegiatan lainnya, termasuk Solat Jum’at  harus terhenti dengan dalih mengantisipasi terjadinya penyebaran Virus Corona, sementara kegagapan terlihat sangat jelas dengan memperbolehkannya Mol atau Supermarket tetap dibuka bahkan Pasar Rakyat yang sangat jelas mengundang kerumunan seakan dibiarkan dengan dalih demi perekonomian dan hajat orang banyak, lantas apa bedanya kerumunan dalam melaksanakan ibdah dengan kerumunan yang ada di Supermarket, mol hingga pasar Rakyat.
Andai saja Pemerintah tidak gagap dan berani melakukan sesuatu dengan ketegasan yang tanpa pandang bulu, maka  tidak akan ada pembatasan dalam melaksanakan Ibadah  dengan dalih menghindari kerumunan.
Akhirnya kita mungkin hanya berharap bahwa semua ini memang sebuah wabah yang sejatinya wabah, dan bukan ada konsep dibalik sebuah Virus yang menakutkan, yang berakibat pada  Soft Sholat yang seharusnya rapat dan saat ini harus renggang dengan jarak yang sangat berlawanan dengan ketentuannya sempurnanya sebuah Sholat.
Andaikan Virus ini sebuah wabah yang sejatinya wabah, apakah bukannya lebih baik kita semakin meningkatkan keimanan terlebih di Bulan yang penuh berkah dan ampunan, dan bukannya saling berdebat beradu dalil  dan tafsir.
Semoga Wabah ini segera musnah dari Nusantara tercinta bahkan Dunia, dan tidak melahirkan Dajal yang pandai beradu mulut dengan menghalalkan segala cara bahkan rela mengorbankan akidah… Wallahua’lam….

29 Feb 2020

Heboh Karung berdarah Dibawah Jembatan Cimanis

Anggota Polsek Lemahabang  saat  melakukan pengecekan  karung berdarah dibawah jembatan Kuning.
Lemahabang. SC – Warga Masyarakat  Dusun 1 RT 1 RW 1 Desa Sarajaya, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, dihebohkan dengan adanya  sebuah karung berlumuran darah yang terletak di bawah Jembatan Kuning Kali Cimanis, Rabu, 26/02/2020. Dengan adanya  Informasi tersebut membuat puluhan Warga Sekitar mendatangi Aliran Kali Cimanis dimana ditemukannya sebuah karung berwarna putih yang dipenuhi oleh darah tersebut. Guna mencari kebenaran terkait ditemukannya karung yang diduga  berisi mayat, Kasatgas Desa Sarajaya, Memet Priyadi langsung berkomunikasi dengan jajaran Kepolisian Polsek Lemahabang dan mendatangi tempat dimana ditemukannya karung berdarah tersebut.  guna mencari kejelasan terkait adanya dugaan mayat dalam karung, Anggota Piket Reskrim Polsek Lemahabang, Brigadir Guntur beserta  Aipda Tris Mulyana, dan Anggota Kepolisian lainnya langsung turun menyusuri pinggiran Sungai dimana karung berdarah tersebut ditemukan, ternyata setelah dilakukan pengecekan dan  isi karung tesebut dibuka, isinya hanyalah beberapa ekor bangkai ikan lele  “ setelah kami lakukan pengecekan dan membuka isi karung tersebut, isinya hanyalah beberapa ekor bangkai ikan lele yang memang mengucurkan darah, kemungkinan masih baru “  ungkap Brigader Yogi.  setelah diketahui bahwa karung tersebut hanya berisi bangkai ikan, puluhan Warga sekitar yang sebelumnya penasaran dan  berkumpul disekitar jembatan gantung tersebut membubarkan diri.  Sementara itu, Kasatgas Desa Sarajaya menjelaskan kepada Suara Cirebon  “ kami juga  tahunya informasi bahwa diduga ada mayat dalam karung  yang  ditemukan di aliran kali Cimanis, tepatnya dibawah jembatan gantung atau Jembatan Kuning dari Warga sekitar, namun Alkhamdulillah, setelah dilakukan pengecekan ke lokasi oleh jajaran Kepolisian Polsek Lemahabang, ternyata hanya sebuah karung  yang berisikan Bangkai Ikan lele, terkait mengapa ada di pinggiran kali, kami pun tidak mengerti, namun demikian, kami sangat mengapresiasi  peran serta Masyarakat yang cepat memberikan laporan kepada kami, hingga sesuatunya cepat  terselesaikan “  ujar  Memet Priyadi.  ( Ags )

Sensus Penduduk Online “ Optimalkah “ ?

Astanajapura. SC – Badan Pusat Statistik ( BPS ) Kabupaten Cirebon, mulai melakukan Sosialisasi terkait Pendataan Penduduk dengan menggunakan system online.  Dengan adanya pendataan dengan Sitem Online ini diharapkan dapat mempermudah petugas Sensus dalam melaksanakan  pendataan penduduk, seperti yang disampaikan Kordinator  Statistik Kecamatan Astanajapura, Arif Rakhman, kepada Suara Cirebon, Rabu, 19/02/2020, saat melakukan Sosialisasi Sensus Penduduk Online, di Kantor Kecamatan Astanajapura        Kami sangat berharap, dengan adanya sensus Penduduk dengan Cara Online ini masyarakat menyambutnya dengan antusias,karena  selama ini Sensus tersebut dilakukan dengan cara dor to dor, dengan adanya Online tentunya akan mempermudah  pendataan, khususnya bagi masyarakat yang  disibukan dengan pekerjaan ataupun hal lainnya, dan  pelaksanaan Sensus Penduduk ini dilaksanakan sejak 15 Februari sampai 31 Maret 2020 “ ungkapnya.  Dirinya lebih lanjut menuturkan, dengan adanya Sensus  Penduduk ini  diharapkan bisa memperbaiki data kependudukan yang selama ini terdapat banyak kesalahan data  “ Sensus Penduduk ini dilaksanakan setiap sepuluh Tahun sekali, oleh karenanya, kami menghimbau dan mengajak kepada semua lapisan Masyarakat untuk antusias dalam pelaksanaan Sensus Penduduk, agar data yang mungkin ada kesalahan bisa segera diperbaiki.  Yang perlu dipahami oleh Masyarakat adalah, selain Sensus Penduduk melalui Sistem Online, kamipun akan melakukan Sensus  Penduduk secara Langsung  pada Bulan Juli 2020 “ ujar Arif. Sementara itu, Camat Astanajapura, M.Iing Tdajudin , saat ditanya Suara Cirebon, terkait Pelaksanaan Sensus Penduduk Sistem Online  dan apakah Optimal, dirinya menuturkan  “ sebenarnya Sensus Penduduk dengan Sistem Online ini tujuannya sangat baik, namun apakah hal tersebut optimal atau tidak, tentunya dikembalikan kepada Masyarakat, karena mungkin tidak semua Masyarakat mengerti apa itu Online, jadi dengan adanya Sosialisasi dari pihak BPS, kami kira itu sangat tepat, tinggal nanti Proses dilapangannya bagaimana “ ujarnya.  Saat disinggung  tentang  Sensus Penduduk yang dialkukan sepuluh Tahun sekali tersebut , dengan tegas dirinya menuturkan  “ seyogyanya Sensus Penduduk tersebut dilakukan Maksimal lima tahun sekali, dan akan lebih baik lagi jika Masyarakat diberi ruang luas atau kemudahan dalam melakukan Perubahan Data, karena  kita tidak tahu nasib kita hari ini dan esok, maka mungkin akan lebih optimal jika ada konsep pendataan mandiri  secara luas apalagi saat ini Sensus Penduduk bisa menggunakan system Online. Tetapi kami  harapkan, jangan sampai dalam pelaksanaan pendataan  Sensus Penduduk nanti, masih terdapat berbagai kesalahan hingga berdampak kepada  program yang salah sasaran “ tegas Iing.  ( Ags )

21 Jan 2020

Dilema seorang Kuwu Antara Hak dan Aturan

R. Agus Syaefuddin ( Ketua DPP LSM BIN )
Hampir terjadi disetiap Pemerintahan Desa, Khususnya setelah selesainya masa kampanye dan ditetapkannya Kuwu pemenang melalui Surat Keputusan Bupati.
Problem yang selalu ada adalah manakala seorang Kuwu terpilih melakukan Pergantian atau pergeseran Posisi terhadap Perangkat Desa yang baru maupun yang lama.
Mungkin ini akan terus terjadi, selama Pemerintahan Desa masih tetap dengan pola Pemilihan secara langsung, yang akhirnya berdampak pada timbulnya permasalahan terkait adanya pergantian Perangkat.
Seorang Kuwu sudah jelas kedudukannya berdasarkan Pemilihan yang dilakukan secara langsung, hingga tidak salah, jika Kuwu memiliki Hak Preogratif, termasuk didalamnya adalah untuk melakukan Pergantian Perangkat Desa sesuai apa yang diinginkannya.namun Hak Kuwu tersebut dibatasi dengan adanya Peraturan, yang walaupun terkadang Peraturan tersebut tidak berlaku dengan berbagai dalih atau alibi yang dimiliki oleh seorang Kuwu.
Sementara , Perangkat Desa pun memiliki kekuatan Hukum sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, walaupun Surat Keputusan seorang Perangkat Desa berdasarkan SK seorang Kuwu, yang didalamnya  memiliki Kekuatan secara Hukum sesuai aturan yang ada.
Perangkat Desa bisa diberhentikan sesuai aturan yang telah ditetapkan, diantaranya adalah, Usia yang memasuki masa pensiun ( 60 ) Tahun, melakukan tindakan Pidana, meninggal Dunia atau mengundurkan diri secara sukarela.
Inilah persoalan yang selalu terjadi pasca adanya Kuwu Baru terpilih, kedua belah pihak saling memiliki Hak untuk mempertahankan apa yang menurut keduanya benar.
Dari kedua Hak yang saling dimiliki, hingga tidak sedikit timbul gejolak akibat adanya peraturan yang telah ada , namun kerap kali terkesan aturan tinggalah sebuah aturan, toh pada kenyataannya, banyak Perangkat Desa yang di Pecat atau dikeluarkan, atau mengundurkan diri, dengan dalih Kuwu memiliki Hak preogratif.
Hal ini akan terus terjadi secara parallel, dan akan menimbulkan berbagai dampak, seperti Dendam, rasa sakit hati, kecewa dan sebagainya.
Lantas timbul sebuah pertanyaan, apakah tidak ada solusi untuk memcahkan persoalan tersebut, tentunya semuanya menjadi tanggung jawab Pemerintah, bagaimana dan apa yang harus diperbuat, agar Peroblem Kuwu dan Perangkat Desa ini bisa berakhir dengan tanpa menimbulkan gejolak yang berkepanjangan.
Mungkin ada dua pilihan yang mungkin layak untuk dipertimbangkan :
1.       Pemerintahan Desa berganti dengan system Kelurahan, walaupun hal ini tidak mudah, tetapi harus menjadi bahan acuan, hingga tidak ada lagi istilah Pendukung ataupun bukan, yang kerap menimbulkan permusuhan antar warga bahkan antar keluarga.
2.       Merubah isi Surat Keputusan Perangkat Desa, atau tatacara Pemberhentian Perangkat Desa yang selama ini mengacu pada aturan yang sudah berlaku namun terasa mandul. SK yang dimiliki Perangkat Desa akan berakhir setelah  berakhirnya masa jabatan seorang Kuwu,  dan Hak untuk memilih Perangkat Desa diserahkan sepenuhnya kepada seorang Kuwu dengan tetap mengacu pada tatacara pengangkatan Perangkat Desa.
Perlu kita cermati, bahwa seorang Kuwu disaat melakukan Pencalonan hingga Pemilihan, tidak sedikit Dana yang dikeluarkan, walaupun Pemerintah menetapkan Pencalonan Kuwu itu Geratis. Secara Administrasi memang Gratis, namun pada kenyataannya, Anggaran kampanye Kuwu dan lainnya lebih mahal dan besar  dari pada Anggaran yang di geratiskan tersebut.
Dilain sisi, Perangkat Desa saat ini telah memiliki NRPD ( Nomor Regristasi Perangkat Desa ) yang telah diakui pula keabsahannya oleh Pemerintah, jadi tidaklah salah jika seorang Perangktat Desa akan mempertahankan Haknya sesuai dengan  ketentuan.
Jika kita menilik pada beberapa puluh tahun kebelakang, jarang sekali kita mendengar adanya perselihan yang terjadi antara Kuwu dan Perangkat Desa, ini dikarenakan adanya perubahan kesenjangan baik secara  Ekonomi maupun Identitas.
Saat ini, Orang saling berebut untuk menjadi Perangkat Desa, karena selain menerima tunjangan, berpenghasilan tetap dan bahkan memiliki sebidang tanah yang bernama bengkok,sedangkan pada decade yang terdahulu, menjadi seorang Perangkat Desa adalah murni sebuah pengabdian, tanpa title dan penghasilan yang menjanjikan.
Jadi siapakah yang memiliki Hak dan kebenaran yang patut dipertahankan, apakah Hak seorang Kuwu atau Hak seorang Perangkat Desa. Semuanya dikembalikan kepada Hati Nurani dan tujuan yang sejati. Mengabdi tanpa Pamrih, atau Mengabdi demi sebuah jabatan dan kedudukan.

Hak Preogratif Kuwu VS Hak Perangkat

R. Agus Syaefuddin ( Wartawan Suara Cirebon )
Pemerintah membuat aturan yang mengikat tentang tata cara pengangkatan maupun pemberhentian Perangkat Desa. Ironisnya, terkesan aturan tinggalah aturan, yang pada kenyataannya aturan tetap terkalahkan oleh sesuatu yang bernama kepentingan.
Hal ini sangat kentara, disaat dalam sebuah Pemerintahan Desa berganti kepemimpinan ( Kuwu/Kepala Desa )
Betapa tidak, tiap kali terjadi Pergantian Kuwu Atau Kepala Desa yang berdasarkan Hasil Pemilihan langsung, saat itu juga kerapkali terjadi pergantian Perangkat Desa dengan berbagai dalih maupun alibi.
Ini terus terjadi dan seakan sudah menjadi tradisi yang mengalahkan sebuah Aturan ataupun ketentuan.
Lantas siapakah yang bersalah ?
Dalam ketentuannya, seorang Kuwu atau Kepala Desa memiliki Hak Preogratif, namun disisi lain Hak itu terhalang oleh sebuah ketentuan atau tatacara tentang pengangkatan ataupun pemberhentian Perangkat Desa.
Inilah yang seharusnya menjadi kajian dengan kepastian, agar persoalan paska pergantian Kepemimpinan tidak selalu menimbulkan persoalan.
Jika memang seorang Kuwu memiliki Hak Prigratif, maka kewenangannya jangan dibatasi oleh sebuah aturan, karena pada kenyataannya aturan tetap terkalahan dan tidak bisa menyelesaikan persoalan.
Sebaliknya, jika memang aturan tersebut sudah dibekukan, maka tidak ada alasan untuk seorang Kuwu melakukan pergantian terhadap jajarannya, dalam hal ini Perangkat Desa, terkecuali memang Perangkat Desa tersebut tersangkut perkara atau mengundurkan diri maupun meninggal Dunia.
Inilah sebuah kenyataan yang selama ini terjadi, hingga terus meninggalkan persoalan yang terkesan tidak bisa terselesaikan.
Jika kita menyalahkan Kuwu atau Kepala Desa untuk melakukan pergantian Perangkatnya, mungkin ini juga kurang bijak. Karena seorang Kuwu disaat menjelang pencalonan hingga penetapan dirinya menjadi seorang Kuwu, tidak sedikit biaya maupun tenaga yang dikeluarkan, maka  sudah menjadi sesuatu yang wajar, jika Seorang Kuwu melakukan Pergantian Perangkatnya demi sesuatu sesuai harapannya.
Namun tidak bijak juga jika kita menyalahkan atau membiarkan terjadi pergantian yang terkesan ada kesewenang-wenangan, karena seorang Perangkat Desa yang Syah telah memiliki Surat Keputusan ( SK ) hingga masa baktinya berakhir sesuai dengan aturan atau ketentuan yang telah ditetapkan, terlebih lagi saat ini seorang Perangkat Desa telah memiliki identitas jelas berupa NRPD (Nomor Registrasi Perangkat Desa ) yang kedudukannya hamper sama dengan seorang Aparatur Sipil Negara.
Hingga akhirnya, selama Pemerintahan Desa masih menggunakan Pola Pemilihan secara langsung, maka persoalan antara Kuwu dan Perangkat Desanya tidak akan pernah terselesaikan, terkecuali Pemerintahan Desa telah diganti dengan Kelurahan.
Yang lebih membuat kita merasa miris atau bahkan menggelengkan kepala adalah Anggaran untuk seorang Calon Kuwu dalam berkampanye atau menarik hati Rakyat, bisa melebihi Anggaran Pencalonan Seorang Anggota Dewan yang meliputi berbagai Kecamatan, dan yang paling nyata adalah dampak Pencalonan Kuwu adalah meninggalkan Rasa Dendam yang terkadang sulit untuk diredam, hingga kerap terjadi perselisihan antar teman, Tetangga bahkan Keluarga.
Inilah yang harus kita semua renungkan dan fikirkan, apakah kita akan membiarkan  Persoalan tersebut berjalan terus, atau kita bisa mencari solusi terbaik, agar Persoalan nyata tersebut bisa kita hindari.
Pada Prinsipnya, membangun sebuah Desa atau apapun  namanya, tidak selalu kita harus menjadi Pemimpin atau  Perangkat didalamnya, semuanya tergantung niat dan tujuan.
Semua Orang mampu untuk membangun sesuatu yang terbaik, asalkan mempunya niat dan keinginan yang kuat. Namun jika harapn tersebut hanya digantungkan pada sesuatu yang bernama jabatan, maka tidak aneh, Jika Permusuhan dan rasa paling mampu akan terus  tumbuh subur dengan meninggalkan Persoalan yang terus terjadi tanpa mampu untuk dibendung terkecuali Nyawa sudah terlepas dari Raga. Wallahu’alam .

2 Des 2019

Menjadi Guru PNS adalah Harapan Namun Guru PNS bukanlah segalanya

R. Agus Syaefuddin ( Wartawan Suara Cirebon )


"Di tengah tuntutan yang besar terhadap kinerja guru namun tidak di barengi dengan upaya meningkatkan kesejahteraan guru merupakan hal yang mustahil dilakukan. Ini sangat sadis dan cendrung mengorbankan guru honorer, sementara adanya kesenjangan penghasilan guru PNS dan guru Non PNS menyebabkan timbulnya rasa ketidakadilan pemerintah terhadap nasib guru honorer, mengingat tugas mereka sama yakni sama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa itulah realitas dunia pendidikan kita entah sampai kapan? Tentu hanya pemangku kepentingan dan Tuhan yang tahu."
Ketika menyebut kata Guru maka dalam benak kita langsung terlintas sosok yang baik, menjadi panutan dan beribawa. Mungkin itulah sebabnya mengapa banyak diantara Anak Bangsa memilih melanjutkan studi di bidang ilmu pendidikan. Guru merupakan kunci utama mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang mengabaikan guru akan selamanya menjadi negara yang terbelakang. Bangsa yang maju memiliki guru yang profesional dan sejahtera, itu semua merupakan deretan pernyataan yang tak terbantahkan.
Namun melihat kondisi dan realita yang di alami oleh Guru saat ini sangat kontradiktif dengan deretan pernyataan di atas, fakta yang di temukan terutama pada Guru honorer seolah menggugurkan semua premis tersebut.
Dalam beberapa kesempatan, di depan ribuan guru, Pemerintah kerap berjanji akan memperbaiki kualitas guru. Perbaikan kualitas guru bisa melalui pelatihan, beasiswa studi, atau pemberian gaji yang layak. Penantian panjangnya tak kunjung berakhir, dari pengangkatan sebagai guru PNS hingga pemberian gaji sesuai upah minimum kabupaten, kota, provinsi, atau regional. Namun, janji tinggallah janji, bahkan sampai di hari ini, janji tersebut tidak terprnuhi.
Satu pertanyaanyang kerap terlintas dalam benak kita adalah, mengapa Guru Honorer tetap bertahan pada profesinya meskipun gajih dan penghasilannya tidak mencukupi ?  mungkin mereka berharap dan memiliki sebuah keyakinan, bahwa suatu hari nanti mereka akan diangkat menjadi seorang Guru yang berpredikat ASN/PNS.
Menjadi PNS merupakan dambaan Masyarakat mayoritas, karena dianggap mampu mensejahterakan dan menjadi jaminan hari tua, karena itu, apapun akan dilakukan untuk bisa menjadi seorang ASN/PNS, bahkan ketika mereka harus bertahan dengan gajih kecil sekalipun. Itulah harapan seorang Honorer.
Sayangnya, kerap kali kita melihat realita yang ada, bahwa mereka yang telah mengabdi hingga puluhan Tahun, belum bisa menjadi jaminan bahwa mereka akan diangkat menjadi seorang PNS, namun sebaliknya tidak sedikit Guru yang baru mengabdi seumur jagung, mereka langsung diangkat menjadi PNS, ini pula yang patut dipertanyakan.
Hal ini pula yang menimbulkan pola dulu ternyata masih ada, yaitu Kolusi dan nepotisme.
Meski banyak diantara mereka yang merasa kecewa, namun tidak serta merta mereka beralih profesi lain, hal ini mungkin juga memiliki alasan, mereka masih berharap suatu saat dirinya akan lolos menjadi seorang PNS , karena mereka tidak memiliki keterampilan lain selain mengajar, dan yang paling memungkinkan lagi adalah, karena alasan sulitnya mencari lahan pekerjaan, hingga harapan itu tetap menjadi sebuah harapan walaupun tanpa kepastian.
Menghadapi persoalan diatas, Peran Pemerintah sangatlah fital, terutama dalam melakukan system perekrutan Guru Honorer menjadi Guru PNS, jika ada kemauan dari Pemerintah, sebenarnya tidaklah sulit untuk menepis adanya anggapan, bahwa telah terjadi mafia dalam perekrutan PNS ( Jika ada Oknum yang bermain )  ini semua bisa menjadi mudah jika kita semua berkeinginan untuk berlaku baik dan jujur dan mengamalkan Pancasila dan UUD 45.

Tetapi yang lebih terpenting lagi adalah, Hidup adalah sebuah kepastian, dan jangan ketergantungan dengan sebuah jabatan yang hanya bersifat sementara.
PNS adalah pilihan dan harapan, namun tidak menjadi seorang PNS pun bukan merupakan sebuah bencana atau kenistaan.
Mengabdi demi anak Negeri tidak melulu hanya menjadi seorang Guru, karena Negeri ini memerlukan segalanya, dan bukan hanya pada sosok seorang pendidik, jadi bijaklah dalam mengarungi Dunia kehidupan. dilansir dari berbagai sumber