22 Mar 2024

Memperkuat Demokrasi Berkontribusi Pada Negeri

INDOMEDIANEWS - Lembaga Survey Poling Cerbon (LSPC) telah hadir untuk turut memberikan kontribusi dalam menghadapi pemilihan bupati dan wakil bupati Cirebon tahun 2024. 

Secara resmi Lembaga Survey Poling Cerbon (LSPC) siap melakukan survey dalam menghantarkan pemimpin sesuai hasil dari keinginan dan pendapat masyarakat di kabupaten Cirebon baik dari kalangan menengah ke bawah dan menengah atas.

Hal ini disampaikan ketua Lembaga survey Poling (LSPC) , Jahir, pihaknya akan mengerahkan semua tim yang akan terjun di wilayah kabupaten Cirebon dengan 40 kecamatan dan 412 desa untuk meyakinkan poling yang aktual dari masyarakat untuk calon  bupati dan wakil bupati Cirebon.

"Lembaga Survei Poling Cirebon (LSPC) akan bersinergi dengan kuwu ,perangkat desa serta dukungan masyarakat dalam memilih kepada pasangan bupati dan wakil bupati Cirebon," Tandasnya kepada media. Kamis ,20/3/2024.

Tidak hanya itu, dari pengalaman berbagai pemilu, Pileg dan pilkada di Indonesia, peta kompetisi di masa-masa calon bupati dan wakil bupati Cirebon, dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kira-kira kemungkinan perolehan suara masing-masing kontestan, tentu dengan mempertimbangkan kemungkinan perubahan. 

Lebih lanjut ditambahkan , bahwa elektabilitas dukungan untuk masing-masing peserta pemilihan Pilkada. Dan, apakah peta mutakhir tersebut dapat memberikan gambaran dari lembaga poling Cerbon (LSPC).

"Untuk menjawab pertanyaan tersebut, LSC akan melaksanakan survei ke 40 kecamatan dan 412 desa di wilayah kabupaten Cirebon," ungkapnya.

Jadi, salah satu yang mendorong berdirinya LSPC adalah masyarakat Indonesia khususnya di kabupaten Cirebon yang kerap kali memvalidasi opini yang cenderung bersifat populer atau viral.

Maka dalam rangka merawat dan memperkuat demokrasi, LSPC turut serta berkontribusi pada negeri ini agar demokrasi kita semakin sehat. 

" Semoga dengan kehadiran Lembaga Survei Poling Cirebon (LSPC) ini, turut berkontribusi untuk memperkuat, mematangkan calon bupati dan wakil bupati Cirebon dengan demokrasi seutuhnya,” ungkap Jahir.

Selain itu LSPC juga dituntut untuk melakukan aksi-aksi kemasyarakatan yang berkaitan dengan politik yang dapat bekerjasama dan bergabung untuk melakukan riset daerah maupun nasional.

" LSPC akan membuka layanan survey bidang politik, kebijakan publik, serta ekonomi dan bisnis. Visi Lembag Survei Poling Cerbon adalah untuk menjadi lembaga survey masyarakat yang Aktual di kontestan pemilihan bupati dan wakil bupati Cirebon," pungkasnya. (1c)

21 Mar 2024

UU HKPD: TURBULENSI APBD PROVINSI JABAR JILID II

oleh
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat pernah mengalami turbulensi. Volume APBD Jabar tahun 2022 secara keseluruhan adalah Rp 31,890 triliun. Berarti, ada penurunan sekitar 28% dari Rp 44,72 triliun pada tahun sebelumnya. Ini yang saya sebut turbulensi jilid I.

Secara global volume APBD terdiri atas tiga bagian, yakni pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah tahun 2022 sebesar Rp 31,148 triliun. Ini berarti ada penurunan sekitar 24% dari tahun 2021 yang sebesar Rp 41,47 triliun.

Pada 2025 APBD Provinsi jawa Barat diprediksi akan mengalami turbulensi jilid II. Volume APBD diprediksi turun dari Rp 37 triliunan pada 2024 menjadi Rp 29 triliunan pada 2025. Itu artinya APBD Provinsi Jawa Barat berkurang sekitar Rp 8 triliun atau sekitar 21,62%.

Turbulensi jilid II terjadi sebagai akibat perubahan persentase dana bagi hasil (DBH). Perubahan persentase itu adalah konsekwensi logis pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

Persentase bagi hasil antara provinsi dengan kabupaten/kota bisa dikatakan berubah drastis. Provinsi yang semula biasa mendapat sebesar 70%, mulai tahn 2025 hanya akan menerima sekitar 34% saja. Sementara itu, kabupaten/kota yang biasanya hanya menerima 34% justru mulai 2025 akan meningkat tajam menjadi 66%.

Hal itu jelas akan mengubah postur semua APBD provinsi maupun kabupaten/kota. Otomatis pula itu akan mengubah volume belanja di banyak sekali pos anggaran belanja. Dalam APBD Provinsi, mayoritas akan berkurang, sedangkan di APBD kabupaten/kota akan banyak program/kegiatan yang mengaliami penambahan volume secara drastis.

Lantas, bagaimana nasib pembangunan provinsi dengan jumlah pennduduk terbesar di Indonesia ini? Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk hampir 50 juta jiwa pasti akan mengalami shok jilid II. Berkurangnya volume APBD Provinsi Jawa Barat akan berakibat pada banyaknya pemangkasan alokasi anggaran di banyak pos belanja di banyak organisasi perangkat daerah.

Dengan kondisi seperti itu, masih mungkinkah Provinsi Jabar berkembang? Masih mungkinkah Pemerintah Provinsi Jabar melakukan pembangunan monumental seperti pada tahun-tahun sebelumnya? Tidak mudah memang melakukan sinkronisasinya, tetapi hal itu tetap harus dilakukan.

Kini kemajuan pembangunan di tingkat kabupaten/kota justru amat tergantung pada kebijakan di kabupaten/kota. Bantuan keuangan yang biasanya mengalir cukup besar dari Provinsi Jabar ke kabupaten/kota bisa jadi akan berkurang pula volumenya. Ini pun butuh penyelarasan di sana sini.

Kabupaten/kota diharapkan mampu membiayai banyak pos yang selama ini banyak bergantung pada bantuan keuangan provinsi. Peningkatan volume APBD kabupaten/kota diharapkan mampu membiayai program/kegiatannya secara lebih maksimal, efektif, dan efisien.

Sementara itu, APBD provinsi tampaknya harus lebih banyak digunakan untuk penguatan target-target yang dibebankan ke Pemerintah Provinsi. Tentu saja dengan demikian semua diharapkan berjalan simultan untuk mewujudkan visi dan misi Indonesia Maju 2045.

Pertanyaannya: seberapa kuat keinginan itu? Para pengambil kebijakan di daerah, gubernur dan DPRD Provinsi, serta bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota.

Terlepas dari beberapa sengketa yang akan menunggu  keputusan Mahkamah Konstitus karena sengketa pileg, hasil pileg 2024 sudah diketahui. Artinya, calon-calon terpilih yang anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sudah diketahui. Namun, ada yang tak kalah penting, yaitu para calon bupati/walikota.

Kita tunggu saja hasilnya karena Pilkada serentak baru digelar pada 27 November 2024.

PKL Berdiri nyaman " Hak pejalan kaki dirampas " tanggung jawab siapa ?

INDOMEDIANEWS - Hampir sepanjang jalan utama dari mulai Cipeujeuh wetan sampai Lemahabang, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, Hak pejalan kaki dirampas oleh maraknya PKL ( Pedagang kaki lima ) yang berdiri diatas trotoar tanpa adanya penertiban yang dilakukan oleh Instansi terkait.
Keadaan tersebut membuat bukan hanya pemandangan yang kurang nyaman, namun pejalan kaki yang seharusnya menikmati jalan yang menjadi haknya sekan hanya bisa mengeluh tanpa dapat berbuat banyak.

Kondisi semerawut keberadaan PKL yang bebas berjualan dan mendirikan lapaknya tanpa aturan, mengundang perhatian salah seorang aktifis Cirebon timur, Pepeng.

"Kondisi ini sudah sangat lama dan ada kesan dibiarkan, bahkan kita sebagai warga pengguna jalan jangan terlalu banyak berharap agar mendapat haknya sebagai pejalan kaki, karena sudah dipastikan kalau kita berteriak untuk dulakukan penertiban, ujungnya pasti saling lempar tangan dan tanggung jawab, Pihak Kabupaten akan mengatakan itu tanggung jawab kecamatan, sementara pihak kecamatan pun pasti akan berkata hal yang sama, jadi saat ini kita hanya berharap akan muncul penguasa atau pemilik kebijakan yang berani berbuat tegas sesuai aturan dami ketertiban dan kenyamanan para pejalan kaki" tuturnya, kamis, 21/03/2024.

Lebih lanjut Pepeng menjelaskan, semerawut dan ketidak nyamanan tersebut letaknya tidak jauh dari Kantor Kecamatan Lemahabang.

"Ironis kang, kondisi PKL yang membangun lapaknya sembarangan tersebut letaknya sangat berdekatan dengan kantor Kecamatan setempat, jadi sangat dimaklumi jika hampir sepanjang jalan dari Cipeujeuh hingga Lemahabang banyak bangunan liar, yong deket kantor Kecamatan saja dibiarkan tumbuh dengan nyaman" pungkasnya (1c)

RLS DAN IPM

oleh
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Rata-rata Lama Sekolah (RLS) didefinisikan jumlah belajar penduduk berusia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan formal. Namun, tahun yang mengulang tidak termasuk di dalamnya. RLS merupakan salah satu unsur yang diperhitungkan dalam Indeks Pebangunan Manusia (IPM).

IPM merupakan ukuran capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup sebuah negara. Pendekatan yang dijadikan tolok ukurnya adalah tiga dimensi dasar yang mencakup umur panjang dan sehat (kesehatan), pengetahuan (pendidikan), dan kehidupan layak (laju pertumbuhan ekonomi/LPE).

IPM digunakan sebagai indikator untuk menilai aspek kualitas dari pembangunan dan untuk mengklasifikasi apakah sebuah negara dikategorikan maju, berkembang, atau terbelakang, selain juga untuk mengukur pengaruh kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup.

IPM dan RLS tentu tidak bisa dipisahkan dari urusan sekolah. Stigma yang terbangun di masyarakat selama ini: anak harus masuk sekolah negeri. Hal itu bukan tanpa alasan. Faktor yang paling utama tentu saja terkait masalah biaya. Kita harus akui bahwa pilihan tersebut berkaitan erat dengan kondisi perekonomian sebagian besar masyarakat.

Di sisi lain, jumlah sekolah negeri, khususnya di tingkat SMA/SMK masih terbatas. Hal itu diperparah lagi dengan salah satu kebijakan pendidikan kita, yakni penerimaan murid dikaitkan dengan zonasi. Bagi orang mampu tampaknya zonasi tidak menjadi masalah. Mereka bisa memilih sekolah kualitas bagus meskipun biayanya relatif mahal. Lantas bagi mereka dari keluarga yang kurang mampu?

Zonasi membatasi banyak hal. Salah satu dampaknya,  cukup banyak anak lulusan SMP suatu kecamatan tidak bisa masuk ke SMA di wilayahnya. Contoh riilnya, banyak murid lulusan SMP Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon yang masuk SMA di Kabupaten Kuningan. Meskipun kedua kabupaten itu berada di Provinsi Jawa Barat, ironis rasanya jika hal seperti itu terus dibiarkan. Ini salah satu dampak pemberlakuan zonasi.

Jumlah lulusan SMP yang diterima di tingkat SMA/SMK pasti berkaitan dengan rata-rata lama sekolah (RLS). Kian sedikit jumlah lulusan SMP yang diterima atau melanjutkan ke SMA pasti akan mempengaruhi angka RLS.  Kian rendah RLS, berarti kian rendah pula rata-rata pendidikan masyarakat. Kita semua tahu, pada akhirnya hal itu akan berkaitan pula dengan banyak hal lain.

RLS merupakan salah satu unsur dalam menghitung Indeks Pendidikan. Jika RLS rendah, Indeks Pendidikan juga akan menjadi rendah. Karena Indeks Pendidikan merupakan salah satu unsur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), secara otomatis IPM pun akan menjadi lebih rendah pula.

Sebagai contoh, hingga akhir 2023, Kabupaten Cirebon memiliki IPM 70,95 dengan RLS 7,64 tahun. Raihan IPM seperti itu tentu tidak dapat dipisahkan dari jumlah sekolah (SMA/SMK) di Kabupaten Cirebon.

Dari total 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon, masih 17 kecamatan yang belum memiliki SMA Negeri. Itu berarti baru 33 kecamatan yang memiliki SMA Negeri. Adapun kecamatan yang sudah memiliki SMK Negeri baru 8 kecamatan saja. 

Kecamatan yang sudah memiliki SMAN dan SMKN hanya 4 kecamatan. Bahkan, dari total 40 kecamatan, ada 13 kecamatan yang sama sekali belum memiliki SMAN/SMKN.

Ini baru potret kecil di salah satu dari 27 kabupaten/kota di Jabar. Bagaimanapun ini merupakan pekerjaan rumah yang amat serius untuk para calon kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota mendatang.

Bukankah kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat pendidikannya? Apakah Jabar sudah berpuas diri dengan kondisi seperti ini?

Sudah selayaknya ada intervensi khusus untuk daerah kabupaten/kota dengan raihan IPM yang masih rendah. Bagaimana mungkin IPM Jabar akan meningkat jika kabupaten/kota dengan IPM rendah terus dibiarkan tanpa kepedulian?

Bukankah pula pendidikan, kesehatan, dan laju pertumbuhan ekonomi yang merupakan unsur IPM menjadi kewajiban negara? Bukankah pula, suka tidak suka dan mau tidak mau, salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan adalah IPM?

20 Mar 2024

PENGELOLAAN KEKAYAAN INTELEKTUAL

oleh
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
 

Kekayaan intelektual adalah kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta, rasa, dan karsanya yang dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Kekayaan intelektual perlu dikelola sehingga memberi manfaat tanpa menimbulkan, atau minimal mengurangi, mudharat.

Pengelolaan kekayaan intelektual adalah segala bentuk kegiatan pengelolaan, mulai dari pendataan, pengintegrasian, fasilitasi, pendaftaran, pemanfaatan, pemeliharaan, alih teknologi, pembinaan, dan pengawasan. Pengelolaan ini tentu saja harus memberi manfaat untuk semua pihak terkait.

Hal itu menjukkan betapa kekayaan intelektual perlu dikelola dengan baik. Oleh karena itu, lahirlah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Kekayaan Intelektual. 

Perda Pengelolaan Kekayaan Intelektual memiliki tiga tujuan. Adapun ketiga tujuan tersebut adalah sebagai berikut. 
Pertama, mendorong peningkatan produktivitas, kreativitas, dan inovasi kekayaan intelektual masyarakat Jawa Barat. Kedua, mengembangkan mayarakat berbudaya ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Ketiga, memberikan kepastian hukum atas kekayaan intelektual yang dihasilkan.

Kekayaan intelektual yang dimaksud dalam Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2018 meliputi:
a. Hak Cipta dan Ekspresi Budaya Tradisional;
b. Paten;
c. Merek dan Indikasi Geografis;
d. Varietas Asal untuk pembuatan Varietas Turunan Esensial;
e. Kekayaan intelektual lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Banyak hal berusaha dijelaskan di dalam Perda Nomor 10 Tahun 2018, termasuk beberapa hal berikut. Hak Cipta adalah hak ekslusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Royalti Hak Cipta adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau hak terkait.

Paten adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut yang memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Karena Provinsi Jawa Barat adalah lumbung padi nasional, tidak mengherankan jika banyak pula penelitian yang dilakukan terkait bidang pertanian. Salah satu cirinya adalah Perda Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Kekayaan Intelektual yang "mengemot" masalah di bidang tersebut. Misalnya terkait varietas.

Varietas Tanaman --yang di dalam perda tersebut kemudian disebut Varietas-- adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan. Untuk lebih jelasnya, dibedakanlah Varietas Asal, Varietas Turunan Esensial, dan Varietas Lokal.

Beberapa hal lain terkait kekayaan intelektual pun dijabarkan Perda Nomor 10 tahun 2018 tersebut. Misalnya tentang invensi. Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

Sederet Konsideran Mengingat dimasukkan pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Kekayaan Intelektual. Ada 12 Undang-Undang (UU), 3 Peraturan Pemerintah (PP), 1 Peraturan Presiden (Perpres), dan 2 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat (Jabar). Ini menunjukkan dasar hukum yang kuat yang melandasi terbitnya perda tersebut.

Perda yang terdiri dari XIX Bab dan 38 Pasal itu dimaksudkan untuk mewujudkan daya saing sumber daya daerah dan nilai tambah kreativitas dan inovasi daerah melalui peningkatan produktivitas, kreativitas, dan inovasi daerah Provinsi jawa Barat.

Secara lebih detil, Bab-bab yang dibahas pun sangat menarik. Ada tentang Hak Cipta dan Ekspresi Budaya Tradisional. Bab ini juga mengatur tentang salinan ciptaan atau bagian ciptaan. Selain itu, diatur pula tentang Paten, termasuk jenisnya, royalty, lisensi. Ada pula bab tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Perda Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Kekayaan Intelektual membahas pula tentang Varietas Asal untuk pembuatan Varietas Turunan Esensial, termasuk persyaratan penamaan Varietas Lokal. Perda ini juga mengatur Pemilikan Kekayaan Intelektual Hasil Penelitian dan Pengembangan. Ini berkaitan dengan jumlah penelitian yang begiitu banyak di Jabar. 

Perda juga mengatur pelaksanaan inventarisasi kekayaan intelektual; Fasilitasi pendaftaran. Bahkan, diatur pula Pemanfaatan tekait penyebaran informasi dan alih teknologi. Banyak hal lain yang juga diatur, semisal Pemeliharaan; Sentra kekayaan intelektual; Kerja sama; Sistem Informasi; Partisipasi; Pembinaan dan Pengawasan; Pendanaan; termasuk Insentif.

Pertanyaannya: efektifkah Perda Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Kekayaan Intelektual?

19 Mar 2024

HEJO TAPI TEU NGEJO?

Oleh 
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Provinsi Jawa Barat memilik Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup. Perda tersebut didasari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

UU Nomor 42 Tahun 2009 memang secara eksplisit mewajibkan daerah untuk mengembangkan isnstrumen ekonomi leingkungan hidup. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjutnya,  Pemprov Jabar mengembangkan mekanisme jasa lingkungan hidup sebagai bagian dari instrumen ekonomi lingkungan hidup.

Perda Jabar Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup memiliki 9 azas: menfaat dan lestari; keadilan; kebersamaan; transparan, partisipasi, dan akuntabel; keberlanjutan; berbasis kearifan lokal; keseimbangan; pemberdayaan masyarakat.

Setidaknya ada empat tujuan dilahirkannya Perda Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup.
Pertama, mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berwawasan lingkungan melalui pemanfaatan potensi jasa lingkungan hidup secara berkelanjutan dengan tetap memperhatikan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya.

Kedua, meningkatkan kepedulian para pihak terhadap upaya menjaga, memelihara, dan memanfaatkan jasa lingkungan hidup sebagai output kinerja ekologis sumber daya alam dan lingkungan hidup yang dikelola secara berkelanjutan.

Ketiga, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup secara seimbang dan berkelanjutan dengan mengembangkan kearifan lokal.

Kempat, memberikan kepastian hukum dalam ketersediaan pembayaran jasa lingkungan hidup untuk perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Perda Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup terdiri dari XV Bab dan 52 pasal. Perda tersebut ditandatangani pada tanggal 15 Juli 2015 oleh Gubernur Ahmad Heryawan. 

Jika melihat keempat tujuan lahirnya Perda Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup, semestinya Jawa Barat sudah menjadi provinsi termaju. Semestinya Jawa Barat tidak lagi memiliki kabupaten/kota yang sebagian masyarakatnya dikategorikan miskin ekstrem (menurut Sekretariat Negara).

Semestinya masing-masing kabupaten/kota yang ada diberi otoritas penuh untuk memanfaatkan secara positif setiap sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ada di wilayahnya. Jangan sampai yang terjadi justru sebaliknya. Mereka memiliki wilayah yang kaya sumber daya alamnya, tetapi tidak bisa mengoptimalkan karena terhalang regulasi.

Regulasi boleh-boleh saja banyak dilahirkan. Akan tetapi, semestinya semua itu ditujukan hanya untuk dan demi kesejahteraan masyarakat semata. Jika benar terjadi, itu merupakan suatu paradoks. Bahkan, sampai ada satu kabupaten yang menggunakan peribahasa "wilayahna hejo tapi teu bisa ngejo" yang artinya wilayahnya subur tapi tak mampu memasak (nasi).

Tanggapan seperti itu juga pasti merupakan respons atas berbagai regulasi yang ada. Mereka merasa wilayahnya memiliki sumber daya alam yang kaya. Namun, berbagai regulasi yang ada "mengekang" mereka untuk memanfaatkannya. Hasilnya tentu saja sebuah paradoks.

Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, berarti kita memang "mendorong" masyarakat di wilayah itu untuk menjadi miskin. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi yang benar-benar komprehensif. Misalnya, daerah seperti itu mendapat kompempensasi yang tetap akan membuat masyarakatnya sejahtera.

Jangan sampai regulasi hanya untuk mengatur masyarakat tanpa memberi ruang pertumbuhan mereka ke arah yang lebih sejahtera. Oleh karena itu, dibutuhkan goodwill dari semua level pemerintahan (pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota) agar setiap kebijakan yang dilahirkan benar-benar berpihak kepada masyarakat.