21 Mar 2024

PKL Berdiri nyaman " Hak pejalan kaki dirampas " tanggung jawab siapa ?

INDOMEDIANEWS - Hampir sepanjang jalan utama dari mulai Cipeujeuh wetan sampai Lemahabang, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, Hak pejalan kaki dirampas oleh maraknya PKL ( Pedagang kaki lima ) yang berdiri diatas trotoar tanpa adanya penertiban yang dilakukan oleh Instansi terkait.
Keadaan tersebut membuat bukan hanya pemandangan yang kurang nyaman, namun pejalan kaki yang seharusnya menikmati jalan yang menjadi haknya sekan hanya bisa mengeluh tanpa dapat berbuat banyak.

Kondisi semerawut keberadaan PKL yang bebas berjualan dan mendirikan lapaknya tanpa aturan, mengundang perhatian salah seorang aktifis Cirebon timur, Pepeng.

"Kondisi ini sudah sangat lama dan ada kesan dibiarkan, bahkan kita sebagai warga pengguna jalan jangan terlalu banyak berharap agar mendapat haknya sebagai pejalan kaki, karena sudah dipastikan kalau kita berteriak untuk dulakukan penertiban, ujungnya pasti saling lempar tangan dan tanggung jawab, Pihak Kabupaten akan mengatakan itu tanggung jawab kecamatan, sementara pihak kecamatan pun pasti akan berkata hal yang sama, jadi saat ini kita hanya berharap akan muncul penguasa atau pemilik kebijakan yang berani berbuat tegas sesuai aturan dami ketertiban dan kenyamanan para pejalan kaki" tuturnya, kamis, 21/03/2024.

Lebih lanjut Pepeng menjelaskan, semerawut dan ketidak nyamanan tersebut letaknya tidak jauh dari Kantor Kecamatan Lemahabang.

"Ironis kang, kondisi PKL yang membangun lapaknya sembarangan tersebut letaknya sangat berdekatan dengan kantor Kecamatan setempat, jadi sangat dimaklumi jika hampir sepanjang jalan dari Cipeujeuh hingga Lemahabang banyak bangunan liar, yong deket kantor Kecamatan saja dibiarkan tumbuh dengan nyaman" pungkasnya (1c)

RLS DAN IPM

oleh
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Rata-rata Lama Sekolah (RLS) didefinisikan jumlah belajar penduduk berusia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan formal. Namun, tahun yang mengulang tidak termasuk di dalamnya. RLS merupakan salah satu unsur yang diperhitungkan dalam Indeks Pebangunan Manusia (IPM).

IPM merupakan ukuran capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup sebuah negara. Pendekatan yang dijadikan tolok ukurnya adalah tiga dimensi dasar yang mencakup umur panjang dan sehat (kesehatan), pengetahuan (pendidikan), dan kehidupan layak (laju pertumbuhan ekonomi/LPE).

IPM digunakan sebagai indikator untuk menilai aspek kualitas dari pembangunan dan untuk mengklasifikasi apakah sebuah negara dikategorikan maju, berkembang, atau terbelakang, selain juga untuk mengukur pengaruh kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup.

IPM dan RLS tentu tidak bisa dipisahkan dari urusan sekolah. Stigma yang terbangun di masyarakat selama ini: anak harus masuk sekolah negeri. Hal itu bukan tanpa alasan. Faktor yang paling utama tentu saja terkait masalah biaya. Kita harus akui bahwa pilihan tersebut berkaitan erat dengan kondisi perekonomian sebagian besar masyarakat.

Di sisi lain, jumlah sekolah negeri, khususnya di tingkat SMA/SMK masih terbatas. Hal itu diperparah lagi dengan salah satu kebijakan pendidikan kita, yakni penerimaan murid dikaitkan dengan zonasi. Bagi orang mampu tampaknya zonasi tidak menjadi masalah. Mereka bisa memilih sekolah kualitas bagus meskipun biayanya relatif mahal. Lantas bagi mereka dari keluarga yang kurang mampu?

Zonasi membatasi banyak hal. Salah satu dampaknya,  cukup banyak anak lulusan SMP suatu kecamatan tidak bisa masuk ke SMA di wilayahnya. Contoh riilnya, banyak murid lulusan SMP Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon yang masuk SMA di Kabupaten Kuningan. Meskipun kedua kabupaten itu berada di Provinsi Jawa Barat, ironis rasanya jika hal seperti itu terus dibiarkan. Ini salah satu dampak pemberlakuan zonasi.

Jumlah lulusan SMP yang diterima di tingkat SMA/SMK pasti berkaitan dengan rata-rata lama sekolah (RLS). Kian sedikit jumlah lulusan SMP yang diterima atau melanjutkan ke SMA pasti akan mempengaruhi angka RLS.  Kian rendah RLS, berarti kian rendah pula rata-rata pendidikan masyarakat. Kita semua tahu, pada akhirnya hal itu akan berkaitan pula dengan banyak hal lain.

RLS merupakan salah satu unsur dalam menghitung Indeks Pendidikan. Jika RLS rendah, Indeks Pendidikan juga akan menjadi rendah. Karena Indeks Pendidikan merupakan salah satu unsur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), secara otomatis IPM pun akan menjadi lebih rendah pula.

Sebagai contoh, hingga akhir 2023, Kabupaten Cirebon memiliki IPM 70,95 dengan RLS 7,64 tahun. Raihan IPM seperti itu tentu tidak dapat dipisahkan dari jumlah sekolah (SMA/SMK) di Kabupaten Cirebon.

Dari total 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon, masih 17 kecamatan yang belum memiliki SMA Negeri. Itu berarti baru 33 kecamatan yang memiliki SMA Negeri. Adapun kecamatan yang sudah memiliki SMK Negeri baru 8 kecamatan saja. 

Kecamatan yang sudah memiliki SMAN dan SMKN hanya 4 kecamatan. Bahkan, dari total 40 kecamatan, ada 13 kecamatan yang sama sekali belum memiliki SMAN/SMKN.

Ini baru potret kecil di salah satu dari 27 kabupaten/kota di Jabar. Bagaimanapun ini merupakan pekerjaan rumah yang amat serius untuk para calon kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota mendatang.

Bukankah kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat pendidikannya? Apakah Jabar sudah berpuas diri dengan kondisi seperti ini?

Sudah selayaknya ada intervensi khusus untuk daerah kabupaten/kota dengan raihan IPM yang masih rendah. Bagaimana mungkin IPM Jabar akan meningkat jika kabupaten/kota dengan IPM rendah terus dibiarkan tanpa kepedulian?

Bukankah pula pendidikan, kesehatan, dan laju pertumbuhan ekonomi yang merupakan unsur IPM menjadi kewajiban negara? Bukankah pula, suka tidak suka dan mau tidak mau, salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan adalah IPM?

20 Mar 2024

PENGELOLAAN KEKAYAAN INTELEKTUAL

oleh
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
 

Kekayaan intelektual adalah kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta, rasa, dan karsanya yang dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Kekayaan intelektual perlu dikelola sehingga memberi manfaat tanpa menimbulkan, atau minimal mengurangi, mudharat.

Pengelolaan kekayaan intelektual adalah segala bentuk kegiatan pengelolaan, mulai dari pendataan, pengintegrasian, fasilitasi, pendaftaran, pemanfaatan, pemeliharaan, alih teknologi, pembinaan, dan pengawasan. Pengelolaan ini tentu saja harus memberi manfaat untuk semua pihak terkait.

Hal itu menjukkan betapa kekayaan intelektual perlu dikelola dengan baik. Oleh karena itu, lahirlah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Kekayaan Intelektual. 

Perda Pengelolaan Kekayaan Intelektual memiliki tiga tujuan. Adapun ketiga tujuan tersebut adalah sebagai berikut. 
Pertama, mendorong peningkatan produktivitas, kreativitas, dan inovasi kekayaan intelektual masyarakat Jawa Barat. Kedua, mengembangkan mayarakat berbudaya ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Ketiga, memberikan kepastian hukum atas kekayaan intelektual yang dihasilkan.

Kekayaan intelektual yang dimaksud dalam Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2018 meliputi:
a. Hak Cipta dan Ekspresi Budaya Tradisional;
b. Paten;
c. Merek dan Indikasi Geografis;
d. Varietas Asal untuk pembuatan Varietas Turunan Esensial;
e. Kekayaan intelektual lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Banyak hal berusaha dijelaskan di dalam Perda Nomor 10 Tahun 2018, termasuk beberapa hal berikut. Hak Cipta adalah hak ekslusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Royalti Hak Cipta adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau hak terkait.

Paten adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut yang memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Karena Provinsi Jawa Barat adalah lumbung padi nasional, tidak mengherankan jika banyak pula penelitian yang dilakukan terkait bidang pertanian. Salah satu cirinya adalah Perda Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Kekayaan Intelektual yang "mengemot" masalah di bidang tersebut. Misalnya terkait varietas.

Varietas Tanaman --yang di dalam perda tersebut kemudian disebut Varietas-- adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan. Untuk lebih jelasnya, dibedakanlah Varietas Asal, Varietas Turunan Esensial, dan Varietas Lokal.

Beberapa hal lain terkait kekayaan intelektual pun dijabarkan Perda Nomor 10 tahun 2018 tersebut. Misalnya tentang invensi. Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

Sederet Konsideran Mengingat dimasukkan pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Kekayaan Intelektual. Ada 12 Undang-Undang (UU), 3 Peraturan Pemerintah (PP), 1 Peraturan Presiden (Perpres), dan 2 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat (Jabar). Ini menunjukkan dasar hukum yang kuat yang melandasi terbitnya perda tersebut.

Perda yang terdiri dari XIX Bab dan 38 Pasal itu dimaksudkan untuk mewujudkan daya saing sumber daya daerah dan nilai tambah kreativitas dan inovasi daerah melalui peningkatan produktivitas, kreativitas, dan inovasi daerah Provinsi jawa Barat.

Secara lebih detil, Bab-bab yang dibahas pun sangat menarik. Ada tentang Hak Cipta dan Ekspresi Budaya Tradisional. Bab ini juga mengatur tentang salinan ciptaan atau bagian ciptaan. Selain itu, diatur pula tentang Paten, termasuk jenisnya, royalty, lisensi. Ada pula bab tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Perda Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Kekayaan Intelektual membahas pula tentang Varietas Asal untuk pembuatan Varietas Turunan Esensial, termasuk persyaratan penamaan Varietas Lokal. Perda ini juga mengatur Pemilikan Kekayaan Intelektual Hasil Penelitian dan Pengembangan. Ini berkaitan dengan jumlah penelitian yang begiitu banyak di Jabar. 

Perda juga mengatur pelaksanaan inventarisasi kekayaan intelektual; Fasilitasi pendaftaran. Bahkan, diatur pula Pemanfaatan tekait penyebaran informasi dan alih teknologi. Banyak hal lain yang juga diatur, semisal Pemeliharaan; Sentra kekayaan intelektual; Kerja sama; Sistem Informasi; Partisipasi; Pembinaan dan Pengawasan; Pendanaan; termasuk Insentif.

Pertanyaannya: efektifkah Perda Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Kekayaan Intelektual?

19 Mar 2024

HEJO TAPI TEU NGEJO?

Oleh 
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Provinsi Jawa Barat memilik Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup. Perda tersebut didasari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

UU Nomor 42 Tahun 2009 memang secara eksplisit mewajibkan daerah untuk mengembangkan isnstrumen ekonomi leingkungan hidup. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjutnya,  Pemprov Jabar mengembangkan mekanisme jasa lingkungan hidup sebagai bagian dari instrumen ekonomi lingkungan hidup.

Perda Jabar Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup memiliki 9 azas: menfaat dan lestari; keadilan; kebersamaan; transparan, partisipasi, dan akuntabel; keberlanjutan; berbasis kearifan lokal; keseimbangan; pemberdayaan masyarakat.

Setidaknya ada empat tujuan dilahirkannya Perda Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup.
Pertama, mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berwawasan lingkungan melalui pemanfaatan potensi jasa lingkungan hidup secara berkelanjutan dengan tetap memperhatikan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya.

Kedua, meningkatkan kepedulian para pihak terhadap upaya menjaga, memelihara, dan memanfaatkan jasa lingkungan hidup sebagai output kinerja ekologis sumber daya alam dan lingkungan hidup yang dikelola secara berkelanjutan.

Ketiga, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup secara seimbang dan berkelanjutan dengan mengembangkan kearifan lokal.

Kempat, memberikan kepastian hukum dalam ketersediaan pembayaran jasa lingkungan hidup untuk perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Perda Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup terdiri dari XV Bab dan 52 pasal. Perda tersebut ditandatangani pada tanggal 15 Juli 2015 oleh Gubernur Ahmad Heryawan. 

Jika melihat keempat tujuan lahirnya Perda Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup, semestinya Jawa Barat sudah menjadi provinsi termaju. Semestinya Jawa Barat tidak lagi memiliki kabupaten/kota yang sebagian masyarakatnya dikategorikan miskin ekstrem (menurut Sekretariat Negara).

Semestinya masing-masing kabupaten/kota yang ada diberi otoritas penuh untuk memanfaatkan secara positif setiap sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ada di wilayahnya. Jangan sampai yang terjadi justru sebaliknya. Mereka memiliki wilayah yang kaya sumber daya alamnya, tetapi tidak bisa mengoptimalkan karena terhalang regulasi.

Regulasi boleh-boleh saja banyak dilahirkan. Akan tetapi, semestinya semua itu ditujukan hanya untuk dan demi kesejahteraan masyarakat semata. Jika benar terjadi, itu merupakan suatu paradoks. Bahkan, sampai ada satu kabupaten yang menggunakan peribahasa "wilayahna hejo tapi teu bisa ngejo" yang artinya wilayahnya subur tapi tak mampu memasak (nasi).

Tanggapan seperti itu juga pasti merupakan respons atas berbagai regulasi yang ada. Mereka merasa wilayahnya memiliki sumber daya alam yang kaya. Namun, berbagai regulasi yang ada "mengekang" mereka untuk memanfaatkannya. Hasilnya tentu saja sebuah paradoks.

Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, berarti kita memang "mendorong" masyarakat di wilayah itu untuk menjadi miskin. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi yang benar-benar komprehensif. Misalnya, daerah seperti itu mendapat kompempensasi yang tetap akan membuat masyarakatnya sejahtera.

Jangan sampai regulasi hanya untuk mengatur masyarakat tanpa memberi ruang pertumbuhan mereka ke arah yang lebih sejahtera. Oleh karena itu, dibutuhkan goodwill dari semua level pemerintahan (pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota) agar setiap kebijakan yang dilahirkan benar-benar berpihak kepada masyarakat.

BIUTR vs GETACI

Oleh 
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Akhir-akhir ini isu tentang pembangunan Bandung Intra Urban Tol Road (BIUTR) marak di berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Pasalnya, rencana pembangunan tol dalam Kota bandung tersebut tidak lama lagi menjadi salah satu agenda pembangunan di Jabar. Hal itu disampaikan langsung oleh Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono.

BIUTR memang sempat tertunda (ada yang menyebutnya mangkrak) 17 tahun. Tentu saja dibutuhkan review ulang atas konsep yang sudah ada. Jadi, tidak mengherankan jika muncul beragam tanggapan atas proyek yang terpendam selama itu. Sebenarnya ini bukan satu-satunya pekerjaan yang sempat terpendam. Lihatlah penyelesaian Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) yang juga sempat mengalami hal serupa.

Bocimi sempat tertunda selama 12 tahun. Penyelesaian Bocimi baru dimulai lagi setelah proyek yang merupakan kelanjutan Tol Jagorawi tersebut mengalami 5 kali ground breaking. Namun, ini bukan pembelaan atas semua itu. Ini hanya sebuah perbandingan.

BIUTR yang panjangnya 27,3 km itu akan menghubungkan Pasteur-Cileunyi. Jalan tol dalam kota ini nantinya akan melalui sejumlah daerah. Misalnya, rute melintasi Tol Pasteur-Jalan Junjunan-Flyover Pasirkaliki-Flyover Pasopati Gasibu-Jalan Surapati-Junction Pusdai-Jalan PHH Mustofa-Junction Ujungberung-Cibiru-Junction Cileunyi.

Seperti lazimnya di kota besar lain, BIUTR dibangun untuk memecah kemacetan yang selama ini kerap terjadi di Kota Bandung. Struktur jalan yang akan dibuat elevated. Artinya, BIUTR ada di atas jalan raya. Dalam proses pembangunannya, BIUTR diusulkan dibagi menjadi 4 fase. 

Fase 1: Jalan Pintu Tol Pasteur dibuat elevated. Fase ini menyambung Flyover Pasopati sepanjang 2,3 km. Jalur tersambung ke underpass sepanjang 0,55 km dari Lapangan Gasibu ke Kantor Dinas Pertanian.

Fase 2: Dari Underpass Gasibu, akan dibangun jalur hingga Cileunyi melalui jalur onpass (di atas tanah). Fase ini terbagi menjadi 3 seksi. Seksi I (Gasibu-Cicaheum), seksi II (Cicaheum-Ujung Berung), dan seksi III (Ujung Berung-Cileunyi).

Fase 1B: Pembangunan onpass yang menjadi penghubung menuju Jalan Tol Purbaleunyi km 149. 

Fase 2B: Sambungan fase 1B dibuat elevated dan onpass yang tersambung dengan kawasan fase 2.

Kota Bandung memang membutuhkan ruas jalan pengurai kemacetan. Ini berkaitan dengan kian banyaknya wisatawan yang datang ke Kota Kembang, selain memang penduduknya pun terus bertambah. Kota Bandung kini menjadi destinasi wisata yang menarik minat banyak orang. Itu membuktikan bahwa Kota Bandung menjadi salah satu tujuan wisata unggulan Jawa Barat. Pasti itu karena banyaknya objek daya tarik wisatanya.

Di sisi lain, peran Tol Gedebge-Tasik Cilacap pun tak kalah stategis. KehadiranTol Getaci bukan hanya ditunggu masyarakat Jabar, khususnya mereka yang tinggal di wilayah timur bagian selatan Jabar. Tol Getaci ditunggu pula oleh masyarakat Jawa Tengah bagian selatan di sisi barat. 

Tol Getaci juga bisa menjadi salah satu akses strategis menuju Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati. Bukankah Kertajati merupakan jendela besar Jabar? Bagaimana mungkin fungsi Kertajadi menjadi maksimal tanpa akses via Tol Getaci? 

Sebenarnya, baik Getaci, BITR, maupun Kertajati, semua diharapkan menjadi pengungkit roda perekonomian Jabar. Semua pasti memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Masalahnya, dengan keterbatasan fiskal yang ada, tampaknya tidak mungkin merengkuhnya sekaligus. Pertanyaannya, sampai kapan Jabar harus bersabar?

Tampaknya kita dihadapkan pada pilihan mana yang lebih dulu harus dibangun: Getaci atau BIUTR? Akhirnya asas manfaat yang harus diutamakan. Jika keuangan terbatas, tinggal pilih mana yang lebih besar manfatnya. Jika sama-sama menggunakan APBN dan dananya hanya cukup untuk satu proyek, tampaknya penyelesaian Getaci lebih besar dampaknya bagi Jabar. 

Perkembangan Jabar selatan bagian timur bisa lebih terpacu. Dengan demikian, hal itu akan mereduksi jarak kemajuan dengan wilayah pantura yang selama ini selalu dikeluhkan. 

Getaci diharapkan dapat menjalankan fungsi tersebut. Kelancaran pergerakan orang dan barang pasti akan banyak efek positifnya. Pertumbuhan ekonomi pun akan menjadi jauh lebih baik. Bukankah ada motto: jalan mantap ekonomi lancar?

Ada satu hal lagi yang tak kalah penting. Dalam setiap proyek pembangunan selalu ada masalah klasik, yakni terkait lahan. Biasanya hal itu terjadi karena rakyat hanya menerima "ganti rugi". Tampaknya konsep dan terminologi yang digunakan harus diubah menjadi "ganti untung". Dengan demikian, semua bisa tersenyum bahagia.

15 Mar 2024

Efektifkah Pusat Distribusi Provinsi Jawa Barat?

Oleh
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Provinsi Jawa Barat telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pusat Distribusi Provinsi. Perda yang terdiri dari 13 bab dan 39 pasal tersebut merupakan payung hukum yang bertujuan untuk mengendalikan harga serta meminimalisir terjadinya inflasi di Jawa Barat.  

Dibutuhkan penyebarluasan perda tersebut secara lebih masif ke seluruh wilayah Jabar. Penyebarluasan perda tersebut dilakukan dalam rangka memberitahukan kepada masyarakat bahwa Pemerintah Provinsi Jabar sudah membuat Perda tentang pengendalian sembilan bahan pokok. Tentunya perda ini sangat berguna bagi masyarakat.

Sebetulnya perda Pusat Distribusi Provinsi (PDP) pernah disosialisasikan terlebih dahulu pada saat masih menjadi rancangan perda. Tanggapan masyarakat waktu itu juga bagus, tetapi memang dibutuhkan penyempurnaan di sana-sini.

Perda tersebut mengatur pusat distribusi yang dimiliki oleh BUMD Provinsi Jawa Barat. BUMD tersebut tugasnya menampung seluruh hasil pertanian di Jawa Barat. Tujuannya tentu saja untuk mengendalikan harga pasar.

BUMD ini wajib membeli hasil pertanian di Jawa Barat ketika harga jual anjlok dengan harga lanyak saat panen tiba. Bukan rahasia lagi biasanya ketika masa panen harganya anjlok. Pada saat seperti itu pusat distribusi wajib membeli dari petani. Ketika terjadi kekurangan bahan pertanian yang dibutuhkan masyarakat, BUMD wajib menjual kembali dengan harga yang wajar. 

Dengan demikian, PDP diharapkan akan memberi rasa aman bagi petani dan seluruh masyarakat Jawa Barat. Satu hal yang pasti: petani tidak perlu lagi takut ketika hasil pertaniannya tidak laku saat panen tiba karena harganya anjlok. Mereka bisa menjualnya ke PDP yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

PDP Jabar ada di Kabupaten Purwakarta. Namun, tentu harus memiliki cabang yang ada di kabupaten/kota lainnya. Tidak mungkin juga petani dari 27 kabupaten/kota se-Jabar semuanya secara langsung mengirimkan produksi pertaniannya ke sana.

Secara keseluruhan, tanggapan masyarakat tentang perda ini cukup baik. Pada saat masa-masa sulit untuk menjual hasil pertaniannya dengan harga layak, pemerintah menyediakan pusat distribusi agar petani tidak merugi.

Ini merupakan salah satu ikhtiar agar di Provinsi Jawa Barat masalah harga dan distribusi barang lebih terkendali. Dengan demikian, tidak akan terjadi kelangkaan barang di pasar serta inflasi lebih bisa dikendalikan. Perda ini harus segera ditindaklanjuti oleh eksekutif dan segera dilakukan penyempurnaan Pusat Distribusi Provinsi di Kabupaten Purwakarta. 

DPRD Provinsi Jabar harus terus melakukan fungsi pengawasan terkait perda ini secara kontinyu. Selain itu, secara teknis, DPRD Provinsi Jabar harus secara intens berkomunikasi dengan semua stake holders terkait agar implementasi perda Pusat Distribusi Provinsi lebih maksimal.