19 Mar 2024

BIUTR vs GETACI

Oleh 
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Akhir-akhir ini isu tentang pembangunan Bandung Intra Urban Tol Road (BIUTR) marak di berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Pasalnya, rencana pembangunan tol dalam Kota bandung tersebut tidak lama lagi menjadi salah satu agenda pembangunan di Jabar. Hal itu disampaikan langsung oleh Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono.

BIUTR memang sempat tertunda (ada yang menyebutnya mangkrak) 17 tahun. Tentu saja dibutuhkan review ulang atas konsep yang sudah ada. Jadi, tidak mengherankan jika muncul beragam tanggapan atas proyek yang terpendam selama itu. Sebenarnya ini bukan satu-satunya pekerjaan yang sempat terpendam. Lihatlah penyelesaian Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) yang juga sempat mengalami hal serupa.

Bocimi sempat tertunda selama 12 tahun. Penyelesaian Bocimi baru dimulai lagi setelah proyek yang merupakan kelanjutan Tol Jagorawi tersebut mengalami 5 kali ground breaking. Namun, ini bukan pembelaan atas semua itu. Ini hanya sebuah perbandingan.

BIUTR yang panjangnya 27,3 km itu akan menghubungkan Pasteur-Cileunyi. Jalan tol dalam kota ini nantinya akan melalui sejumlah daerah. Misalnya, rute melintasi Tol Pasteur-Jalan Junjunan-Flyover Pasirkaliki-Flyover Pasopati Gasibu-Jalan Surapati-Junction Pusdai-Jalan PHH Mustofa-Junction Ujungberung-Cibiru-Junction Cileunyi.

Seperti lazimnya di kota besar lain, BIUTR dibangun untuk memecah kemacetan yang selama ini kerap terjadi di Kota Bandung. Struktur jalan yang akan dibuat elevated. Artinya, BIUTR ada di atas jalan raya. Dalam proses pembangunannya, BIUTR diusulkan dibagi menjadi 4 fase. 

Fase 1: Jalan Pintu Tol Pasteur dibuat elevated. Fase ini menyambung Flyover Pasopati sepanjang 2,3 km. Jalur tersambung ke underpass sepanjang 0,55 km dari Lapangan Gasibu ke Kantor Dinas Pertanian.

Fase 2: Dari Underpass Gasibu, akan dibangun jalur hingga Cileunyi melalui jalur onpass (di atas tanah). Fase ini terbagi menjadi 3 seksi. Seksi I (Gasibu-Cicaheum), seksi II (Cicaheum-Ujung Berung), dan seksi III (Ujung Berung-Cileunyi).

Fase 1B: Pembangunan onpass yang menjadi penghubung menuju Jalan Tol Purbaleunyi km 149. 

Fase 2B: Sambungan fase 1B dibuat elevated dan onpass yang tersambung dengan kawasan fase 2.

Kota Bandung memang membutuhkan ruas jalan pengurai kemacetan. Ini berkaitan dengan kian banyaknya wisatawan yang datang ke Kota Kembang, selain memang penduduknya pun terus bertambah. Kota Bandung kini menjadi destinasi wisata yang menarik minat banyak orang. Itu membuktikan bahwa Kota Bandung menjadi salah satu tujuan wisata unggulan Jawa Barat. Pasti itu karena banyaknya objek daya tarik wisatanya.

Di sisi lain, peran Tol Gedebge-Tasik Cilacap pun tak kalah stategis. KehadiranTol Getaci bukan hanya ditunggu masyarakat Jabar, khususnya mereka yang tinggal di wilayah timur bagian selatan Jabar. Tol Getaci ditunggu pula oleh masyarakat Jawa Tengah bagian selatan di sisi barat. 

Tol Getaci juga bisa menjadi salah satu akses strategis menuju Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati. Bukankah Kertajati merupakan jendela besar Jabar? Bagaimana mungkin fungsi Kertajadi menjadi maksimal tanpa akses via Tol Getaci? 

Sebenarnya, baik Getaci, BITR, maupun Kertajati, semua diharapkan menjadi pengungkit roda perekonomian Jabar. Semua pasti memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Masalahnya, dengan keterbatasan fiskal yang ada, tampaknya tidak mungkin merengkuhnya sekaligus. Pertanyaannya, sampai kapan Jabar harus bersabar?

Tampaknya kita dihadapkan pada pilihan mana yang lebih dulu harus dibangun: Getaci atau BIUTR? Akhirnya asas manfaat yang harus diutamakan. Jika keuangan terbatas, tinggal pilih mana yang lebih besar manfatnya. Jika sama-sama menggunakan APBN dan dananya hanya cukup untuk satu proyek, tampaknya penyelesaian Getaci lebih besar dampaknya bagi Jabar. 

Perkembangan Jabar selatan bagian timur bisa lebih terpacu. Dengan demikian, hal itu akan mereduksi jarak kemajuan dengan wilayah pantura yang selama ini selalu dikeluhkan. 

Getaci diharapkan dapat menjalankan fungsi tersebut. Kelancaran pergerakan orang dan barang pasti akan banyak efek positifnya. Pertumbuhan ekonomi pun akan menjadi jauh lebih baik. Bukankah ada motto: jalan mantap ekonomi lancar?

Ada satu hal lagi yang tak kalah penting. Dalam setiap proyek pembangunan selalu ada masalah klasik, yakni terkait lahan. Biasanya hal itu terjadi karena rakyat hanya menerima "ganti rugi". Tampaknya konsep dan terminologi yang digunakan harus diubah menjadi "ganti untung". Dengan demikian, semua bisa tersenyum bahagia.

15 Mar 2024

Efektifkah Pusat Distribusi Provinsi Jawa Barat?

Oleh
Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Provinsi Jawa Barat telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pusat Distribusi Provinsi. Perda yang terdiri dari 13 bab dan 39 pasal tersebut merupakan payung hukum yang bertujuan untuk mengendalikan harga serta meminimalisir terjadinya inflasi di Jawa Barat.  

Dibutuhkan penyebarluasan perda tersebut secara lebih masif ke seluruh wilayah Jabar. Penyebarluasan perda tersebut dilakukan dalam rangka memberitahukan kepada masyarakat bahwa Pemerintah Provinsi Jabar sudah membuat Perda tentang pengendalian sembilan bahan pokok. Tentunya perda ini sangat berguna bagi masyarakat.

Sebetulnya perda Pusat Distribusi Provinsi (PDP) pernah disosialisasikan terlebih dahulu pada saat masih menjadi rancangan perda. Tanggapan masyarakat waktu itu juga bagus, tetapi memang dibutuhkan penyempurnaan di sana-sini.

Perda tersebut mengatur pusat distribusi yang dimiliki oleh BUMD Provinsi Jawa Barat. BUMD tersebut tugasnya menampung seluruh hasil pertanian di Jawa Barat. Tujuannya tentu saja untuk mengendalikan harga pasar.

BUMD ini wajib membeli hasil pertanian di Jawa Barat ketika harga jual anjlok dengan harga lanyak saat panen tiba. Bukan rahasia lagi biasanya ketika masa panen harganya anjlok. Pada saat seperti itu pusat distribusi wajib membeli dari petani. Ketika terjadi kekurangan bahan pertanian yang dibutuhkan masyarakat, BUMD wajib menjual kembali dengan harga yang wajar. 

Dengan demikian, PDP diharapkan akan memberi rasa aman bagi petani dan seluruh masyarakat Jawa Barat. Satu hal yang pasti: petani tidak perlu lagi takut ketika hasil pertaniannya tidak laku saat panen tiba karena harganya anjlok. Mereka bisa menjualnya ke PDP yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

PDP Jabar ada di Kabupaten Purwakarta. Namun, tentu harus memiliki cabang yang ada di kabupaten/kota lainnya. Tidak mungkin juga petani dari 27 kabupaten/kota se-Jabar semuanya secara langsung mengirimkan produksi pertaniannya ke sana.

Secara keseluruhan, tanggapan masyarakat tentang perda ini cukup baik. Pada saat masa-masa sulit untuk menjual hasil pertaniannya dengan harga layak, pemerintah menyediakan pusat distribusi agar petani tidak merugi.

Ini merupakan salah satu ikhtiar agar di Provinsi Jawa Barat masalah harga dan distribusi barang lebih terkendali. Dengan demikian, tidak akan terjadi kelangkaan barang di pasar serta inflasi lebih bisa dikendalikan. Perda ini harus segera ditindaklanjuti oleh eksekutif dan segera dilakukan penyempurnaan Pusat Distribusi Provinsi di Kabupaten Purwakarta. 

DPRD Provinsi Jabar harus terus melakukan fungsi pengawasan terkait perda ini secara kontinyu. Selain itu, secara teknis, DPRD Provinsi Jabar harus secara intens berkomunikasi dengan semua stake holders terkait agar implementasi perda Pusat Distribusi Provinsi lebih maksimal.

13 Mar 2024

Keluarga besar Pitaloka " beri bantuan bagi warga Ciledug wetan dan Waled "

INDOMEDIANEWS -  Keluarga Besar Pitaloka Kota Cirebon, Distrik 017 AMS Kota Cirebon yang diketuai oleh Tje Eva Octaviana, memberikan bantuan berupa makanan, Minuman, dan pakaian  layak pakai, kepada warga Masyarakat Blok Labuan, Desa Ciledug wetan, Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, Senin, 11/03/2024.

Dalam keterangannya, Tje Eva menuturkan, bahwa apa yang dilakukannya sebagai bentuk kepedulian terhadap warga yang tengah menghadapi musibah akibat derasnya curah hujan hingga berakibat banjir.

"Kami dari keluarga besar Pitaloka kodya Cirebon distrik 017 AMS Kota Cirebon,  sangat peduli dan merasakan apa yang saat ini tengah dirasakan oleh warga Ciledug wetan, hususnya yang berada di Blok labuan, bencana ini merupakan hal yang tidak bisa dihindari, dan kita sebagai sesama anak Bangsa tentunya sudah menjadi kewajiban untuk saling peduli dengan siapapu yang tengah menghadapi cobaan dari Allah Tuhan penguasa alam semesta, harapan kami dengan adanya bantuan dan kepedulian yang diberikan, sedikitnya bisa menjadi obat dan meringankan beban mereka ( warga Blok Labuan-red)" tuturnya.
Bantuan yang diberikan oleh Keluarga besar Pitaloka tersebut diterima langsung oleh Raksa Bumi Ciledug wetan yang didampingi mantan Kuwu Ciledug wetan Koswara.

"Kami sangat berterimakasih atas kepedulian yang diberikan keluarga besar pitaloka, semoga apa yang telah diberikan akan mendapat imbalan dan pahala berlipat dari Allah SWT, semoga bencana yang saat ini tengah melanda warga kami, bisa menjadi cermin untuk masa yang akan datang, sekali lagi, kami warga Blok Labuan sangat berterimakasih kepada keluarga pitaloka" ujar Koswara.

Kegiatan pitaloka dalam memberikan bantuan tidak hanya kepada warga Blok Labuan Ciledug wetan, namun dilanjutkan kepada warga Waled, Kecamatan Waled, Kabupaten Cirebon. (1c)

12 Mar 2024

JALAN PROVINSI JABAR "MENUNGGU BOM WAKTU"

_oleh_
_Daddy Rohanady_
_Anggota DPRD Provinsi Jabar_


Kemantapan jalan milik Provinsi Jawa Barat yang dikelola Dinas Bina Marga dan Penartaan Ruang (DBMPR) hingga akhir 2022 tidak mencapai 90%. Dari enam Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang ada, rata-rata kemantapan jalannya seperti itu. Salah satu contohnya adalah di UPTD Wilayah II. Kemantapan jalan Provinsi Jabar di wilayah Kabupaten dan Kota Sukabumi adalah 78%. 

Secara keseluruhan panjang jalan yang dikelola Provinsi Jawa Barat adalah 2.360,58 kilometer. Jalan yang tersebar di 27 kabupaten/kota se-Jabar itu pengelolaannya dibagi ke dalam enam UPTD DBMPR. Masing-masing UPTD tersebut mengelola jumlah ruas dan panjang jalan yang berbeda-beda. 

Secara keseluruhan, hingga akhir 2022, kondisi jalan milik Provinsi Jabar masih banyak yang tidak mantap. Lebih dari 20% jalan di Bumi Parahyangan ternyata tergolong rusak berat dan rusak sedang.

Target kemantapan jalan secara nasional pada 2022 adalah 91,81%. Target Kemantapan jalan nasional pada tahun 2023 naik menjadi 93,57 persen. Adapun target Provinsi Jabar sebagaimana tertera dalam Perda Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2018-2023 adalah 83,84 persen pada tahun 2023. Pada tahun 2022 kemantapan jalan provinsi mencapai 82,79 persen. Oleh karena itu, sejumlah upaya pun dilakukan Pemprov Jabar melalui Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang (BMPR) Jabar, di antaranya meningkatkan jalan provinsi dan memperbaiki jembatan.

Berbagai upaya memang dilakukan, tetapi tetap dengan ketebatasan anggaran yang ada. Pada tahun 2023 dilakukan pemeliharaan rutin jalan dan jembatan. Sudah disepakati pada tahun 2023 ada 69 paket penanganan untuk jalan dengan panjang total 355,587 km. Paket pekerjaan tersebut meliputi pekerjaan pemeliharaan berkala sepanjang 352,47 km, rekonstruksi jalan sepanjang 3,117 km, rehabilitasi jalan 0,063 km, pembangunan jembatan 0,14 km, dan penggantian jembatan 0,038 km.

Dengan target seperti itu, dapat dipastikan bahwa target kemantapan jalan Provinsi Jabar pada akhir tahun 2023 juga tidak tercapai. Berarti, ada pekerjaan rumah yang begitu besar bagi DBMPR Provinsi Jabar untuk beberapa tahun ke depan.

Jalan provinsi Jabar mengalami penurunan kualitas. Hal ini tentu berkaitan dengan alokasi anggaran, baik untuk rekonstruksi, peningkatan, maupun pemeliharaan jalan.  Padahal, pada tahun 2019 kemantapan jalan provinsi di Jawa Barat mencapai 91,903%. Tahun 2020-2021 memang anggarannya pun menurun drastis akibat refocusing dan realokasi anggaran sebagai kebijakan untuk lebih meprioritaskan penanggulangan covid-19. 

Selain menangani jalan, ada pekerjaan lain yang menjadi tugas pokok dan fungsi DBMPR, yakni urusan penataan ruang, dan masalah jasa konstruksi. Namun, hal yang harus ditangani yang sangat erat kaitannya dengan jalan adalah penanganan jembatan. 

Jumlah jembatan di Provinsi Jabar sangatlah banyak. Secara total jumlahnya mencapai 1.295 buah dengan total panjang 16.485,9 km. Sayangnya, dari jembatan sebanyak itu, tidak sedikit pula jembatan yang umur pembuatannya sudah di atas 30-40 tahun. Mengingat kondisi tersebut, berarti tidak ringan pula tugas DBMPR. 

Di UPTD Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang (DBMPR) Wilayah Jalan II (Kabupaten dan Kota Sukabumi), misalnya, ada 152 jembatan. Dari jumlah sebanyak itu, yang mampu dirawat hanya 10 saja. Ini dikarenakan anggaran yang terbatas. Konsekwensinya bisa ditebak, banyak jembatan yang kurang terawat.

Contoh jalan yang terbengkalai di UPTD DBMPR Wilayah II ialah ruas Simpang Loji-Waluran. Pekerjaan terakhir di ruas ini dilakukan pada 2016. Artinya, jalan tersebut sudah bertahun-tahun "tak tersentuh". Tidak aneh jika hingga kini jembatan yang strategis itu kondisinya lumayan parah. Lubang tampak di sana-sini. Dengan kondisi demikian, para pengguna harus ekstra hati-hati dalam memilih lintasan yang akan dilalui. 

Celakanya, memilih lintasan jalan menjadi sangat tidak mudah dilakukan ketika musim hujan. Mengapa? Jalan yang dipenuhi air hujan akan membuat para pengguna jalan lebih sulit memilih jalur lintasan. Hal ini dikarenakan jalan yang berlubang tidak terlalu tampak jelas. Akhirnya, ada saja yang terjebak ke dalam lubang. Satu-dua kecelakaan pun tak terelakkan. Jika hal ini dibiarkan berlama-lama, peluang terjadinya kecelakaan pun menjadi semakin sering.

Ada hal lain yang menarik. UPTD Wilayah II mengurus jalan provinsi sepanjang 347,47 kilometer. Dari jalan sepanjang itu masih ada pula jalan yang lebarnya hanya 3,5 meter. Padahal, standar lebar jalan provinsi adalah minimal 6 meter. 

Ruas jalan di UPTD Wilayah II pun butuh rekonstruksi. Tahun 2022 saja hanya dilakukan rekonstruksi sepanjang 15 km. Dengan berbagai keterbatasan yang ada, tidak aneh jika  kemantapan jalan UPTD Wilayah II DBMPR adalah 78%. Dengan kondisi seperti itu berarti ada 22% yang kurang mantap.

Secara keseluruhan, khusus terkait jalan, ada pekerjaan rumah yang cukup besar untuk DBMPR Provinsi Jabar. Dengan sekitar 73% jalan yang umur teknis rencananya sudah habis, berarti ada sekitar 1.500 km jalan yang harus direkonstruksi. Ini jelas sebuah pekerjaan besar yang dapat dipastikan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Mengingat keterbatasan kemampuan keuangan yang ada, praktis penanganan jalan di Jawa Barat harus dilakukan secara bertahap. Misalnya, kondisi sekarang dijadikan titik nol. Lalu, target penyelesaiannya disusun menjadi 10 tahun.

Artinya, dibutuhkan dukungan anggaran untuk merekonstruksi jalan sekitar 150 km per tahun. Dengan asumsi kebutuhan biaya Rp 10 miliar per kilometer saja, berarti dibutuhkan biaya sekitar Rp 1,5 triliun per tahun. 

Itu hanya untuk rekonstruksi 10% jalan yang umur teknisnya sudah habis. Padahal, jalan lainnya pun butuh biaya pemeliharaan rutin. Jadi, memang dibutuhkan anggaran yang cukup besar jika jalan-jalan di Jabar tidak ingin lebih "ambyar".

Kondisi jalan provinsi seperti itu memang tidak dapat dibiarkan terlalu lama. Dibutuhkan perencanaan penanggulangan secara holistis dan terintegrasi. Dibutuhkan dukungan anggaran yang realistis dalam APBD Provinsi Jabar. 

Mudah-mudahan perekonomian Indonesia, termasuk Provinsi Jawa Barat, terus membaik dan meningkat pada tahun 2023. Dengan demikian, APBD Provinsi Jabar pun meningkat dan alokasi anggaran untuk perbaikan infrastruktur bisa terpenuhi.

Jika APBD Provinsi Jabar tidak mungkin meng-cover kebutuhan tersebut secara keseluruhan, Pemprov Jabar harus meminta bantuan ke Pemerintah Pusat. Slotnya pasti ada. Itulah Dana Alokasi Khusus (DAK). Melalui para anggota DPR RI yang berasal dari daerah pemilihan Jawa Barat rasanya hal itu masih bisa ditanggulangi. Seberapa kuat lobi sudah dilakukan? Itu salah satu masalahnya.

Memang tidak mungkin rekonstruksi jalan sepanjang sekitar 1.500 km dilakukan dalam satu tahun anggaran. Namun, setidaknya hal itu bisa dilakukan dalam 5-10 tahun anggaran. Dengan demikian, dukungan anggarannya pun lebih logis dan realistis. Satu hal yang pasti: jangan menunggu bom waktu.

Itulah salah satu pekerjaan rumah untuk Gubernur Jabar beserta Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang. Tentu Gubernur dan Kadis BMPR tidak sendiri. Jika berkaitan dengan alokasi anggaran, dia harus membicarakan hal itu dengan DPRD Provinsi Jabar. Penanganan jalan juga semestinya bisa dilakukan melalui kolaborasi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah kota/kabupaten se-Jabar, termasuk para pengusaha di Jabar.

Sayangnya, ada satu kata yang tampaknya memang masih sangat sulit dilakukan: *kolaborasi*.

9 Mar 2024

Projo Ganjar peduli warga terdampak banjir

INDOMEDIANEWS -  Bencana banjir yang menimpa warga Masyarakat Ciledug wetan, blok labuan, Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, mendapat perhatian dari Projo Pusat dan Projo Ganjar Kabupaten Cirebon.
Kepedulian projo direalisasikan dengan memberikan bantuan sembako kepada warga terdampak banjir.
Hal tersebut dituturkan ketua Projo, Kabupaten Cirebon, Jaenudin, saat memberikan bantuan, Sabtu, 09/03/2024.

"Kami dari Projo Pusat dan Projo Kabupaten Cirebon, sangat peduli terhadap warga Masyarakat yang saat ini terkena musibah banjir, bantuan berupa sembako yang kami berikan diharapkan mampu meringankan beban mereka, memang nilainya tidak seberapa dibandingkan dengan penderitaan yang dirasakan warga saat ini, namun inilah bentuk kepedulian kami terhadap siapapun yang terkena musibah, semoga warga diberikan kesabaran dan tetap semangat dalam menjalani kehidupan"tuturnya.

Lebih lanjut Jaenudin menjelaskan, bahwa apa yang diberikan kepada warga masyarakat berdasarkan kepedulian dari hasil kebersamaan kami keluarga Perojo.

"Kami sangat berterimakasih kepada seluruh keluarga besar Projo, termasuk para pihak yang telah bersama-sama memberikan bantuan dan perhatian kepada warga Masyarakat Ciledug wetan, khususnya yang ada di blok labuan, dengan gerakan bansos yang kami lakukan semoga dapat bermanfaat dan diikuti oleh pihak lainnya, sekali lagi kami sampaikan turut berduka bagi seluruh Maayarakat yang saat ini tengah dicoba oleh Allah SWT, tetap semangat dan jangan putus asa, kami akan selalu ada untuk berupaya peduli demi kebersamaan" pungkasnya. (1c)

8 Mar 2024

KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH


Oleh
DADDY ROHANADY
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Perda Jawa Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang Kemandirian Pangan Daerah ditetapkan pada tanggal 11 Juni 2012.  Artinya, perda tersebut disahkan pada masa Provinsi Jawa Barat dipimpin oleh Gubernur Ahmad Heryawan.
Perda tersebut dilahirkan dengan spirit untuk menjaga ketahanan pangan daerah di Provinsi Jabar. Sebagaimana diketahui, Jabar merupakan lumbung padi nasional. Artinya, Jabar berkontribusi untuk ketersediaan stok beras secara nasional. Sempat ada masanya lumbung padi nasional di Jabar yang paling utama adalah Kabupaten Karawang. Sekarang posisinya sudah bergeser ke Kabupaten Indramayu. Bahkan, Kabupaten Cirebon juga tetap memberikan kontribusinya dalam memasok beras.
Jika dilihat secara lebih detil, itu menunjukkan pergeseran. Mengapa atau bagaimana hal itu bisa terjadi? Salah satu masalah klasiknya adalah alih fungsi lahan. Betapa tidak, dengan adanya jalan tol dan perkembangan industri, alih fungsi lahan tidak bisa lagi dihindari. Salah satu yang terkena dampak itu adalah Kabupaten Karawang. Akibatnya, luas lahan yang digunakan untuk kawasan pertanian pun kian tergerus. 
Lahan sawah yang biasanya digunakan untuk bertanam padi pun kini sudah banyak yang berubah menjadi perumahan. Bahkan, ada beberapa bagian yang lantas berubah menjadi kawasan pabrik. Hal itu pasti berkonsekwensi logis pada turunnya jumlah produksi beras. Di sisi lain, Kabupaten Indramayu dan wilayah lainnnya pun pasti ada alih fungsi lahan. Hanya saja, luasnya lebih sedikit.
Jika kondisi ini terus-menerus dibiarkan, tidak mustahil ada masanya ketika semua wilayah itu akan berkurang kontribusi produksi berasnya. Tentu saja hal itu tidak bisa dibiarkan. Apalagi jika melihat perkembangan jumlah penduduk yang justru terus-menerus tidak pernah bisa dikurangi. Itu semua harus dijadikan bagian dari pertimbangan dalam menyusun program perencanaan pembangunan Provinsi Jabar. 
Rencana pembangunan Provinsi Jabar salah satunya dituangkan dalam Perda Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat dan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat 2022-2042. Memang kedua perda tersebut pun harus direvisi mengingat akan direvisinya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJPN). RPJPD di semua provinsi haruslah mempedomani RPJPN. Dengan demikian, harus dilakukan revisi terhadap semua RPJPD di seluruh provinsi.
Jawa Barat secara serius mengatur kemandirian pangan daerah. Regulasi yang mengatur kemandirian pangan di daerah Provinsi Jawa Barat adalah Perda Jawa Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang Kemandirian Pangan Daerah.  Adapun Bab-Bab yang diatur dalam Perda tersebut adalah Ketentun Umum, Kewenangan, Perencanaan Kemandirian Pangan Daerah, Penyelenggaraan Kemandirian Pangan Daerah; Sarana dan Prasarana, Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian, Pembiayaan, Ketentuan Penutup. Dari judul-judul bab yang ada di dalam perda tersebut, tampak jelas bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat sangat serius memperhatikan masalah kemandirian pangan daerah Provinsi Jawa Barat.
Terkait ketersediaan pangan, hal itu juga menjadi perhatian serius dalam Perda RTRW. Jika menilik apa yang dituangkan dalam Perta RTRW Provinsi Jabar, jumlah penduduk Jabar pada tahun 2042 diperkirakan sekitar 61 juta jiwa. Untuk itu, diperlukan ketersediaan pangan yang memadai agar stok pangannya mencukupi. RTRW harus mengatur hal itu karena akan berkaitan dengan lahan yang digunakan untuk mewujudkan ketersediaan pangan yang mencukupi. Maka, ditetapkanlah angka luasan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B). 
Untuk mewujudkan kemdirian pangan daerah diperlukan kerja sama lintas sektor. Artinya, pekerjaan seperti itu tidak mungkin hanya digarap hanya oleh satu atau dua organisasi perangkat daerah. Pekerjaan besar itu pun tidak bisa hanya ditangani oleh pemerintah Provinsi Jabar sendiri. Dibutuhkan sinergitas dengan berbagai pihak, baik pemeritah kota/kabupaten, pemerintah pusat, maupun para pemangku kepentingan lainnya, semisal perusahaan swasta.
Pada tataran implementasinya di lapangan, kemandirian pangan daerah harus pula ditunjang dengan infrastruktur pendukung yang memadai. Misalnya, saluran irigasi teknis yang mencukupi untuk seluruh luasan daerah irigasi yang ada. Jika hal ini tidak ada, rasanya agak mustahil sebuah wilayah akan memiliki kemandirian pangan.
Selain itu, ada hal yang tak kalah penting untuk mewujudkan kepandirian pangan daerah. Inovasi sangat berpengaruh pada keberhasilan suatu wilayah guna meningkatkan produksi pangan. Dulu orang lebih mengenal konsep intensifikasi dan ekstensifikasi.
Salah satu penunjang keberhasilan dalam hal ini adalah inovasi. Inovasi jangan ditafsirkan secara sempit karena bisa dilakukan di berbagai tahap. Misalnya, pemilihan bibit unggul. Dengan jumlah bibit yang sama, jika menggunakan bibit unggul akan menghasilkan produksi yang lebih banyak dan kualitasnya lebih baik. Bisa juga digabungkan dengan pemanfaatan keterbatasan lahan yang tersedia. 
Kini bertanam padi tidak melulu hanya harus memanfaatkan sawah berhektar-hektar. Dengan mengoptimalkan lahan yang ada, sekali lagi tidak mesti sawah, tetap bisa dihasilkan beberapa jenis tanaman pangan. Tentu saja salah satunya karena inovasi dengan memanfaatkan bibit unggul.
Persoalan lain yang dihadapi saat ini adalah kurangnya minat menjadi petani. Lihatlah rata-rata usia petani kita. Mereka rata-rata sudah berusia di atas 40 tahun. Lalu bagaimana keberlanjutan pertanian kita? Oleh karena itu, Jabar pada era Gubernur Ridwan Kamil pernah berusaha mencetak petani milenial. Namun program tersebut pun belum nyata benar hasilnya.
Berbagai persoalan memang menyelimuti dunia pertanian kita. Tidak aneh jika musim tanam (MT) kita masih kurang baik-baik saja. Masih sangat sedikit wilayah Jabar yang memiliki MT dua koma lima atau lebih. Hal itu pasti akan sangat berpengaruh pula pada nilai tukar petani (NTP). Sepanjang NTP masih rendah, rasanya sangat sulit menarik minat generasi muda menjadi petani.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kebijakan terkait pupuk. Petani kerap kali mengeluhkan soal pupuk. Di beberapa wilayah petani mengeluhkan sulit memperoleh pupuk. Selain harganya mahal, pupuk kita lebih sering sulit ditemukan. Jadi, selain mahal, langka pula. Padahal, ada salah satu pabrik pupuk yang lokasinya di Jawa Barat. 
Masihkan Jawa Barat bisa menjadi lumbung padi nasional?