Mirisnya, pergantian perangkat desa adalah kewenangan atau hak preogratif seorang kuwu, namun nyatanya hak yang dimiliki tersebut tidak sepenuhnya menjadi hak, karena pada kenyataannya jika kuwu ingin memberhentikan perangkat desa harus memenuhi beberapa syarat, hingga akhirnya tiap kali pesta kuwu usai dan terjadi wacana pergantian perangkatnya hampir dipastikan akan menimbulkan persoalan yang terjadi di setiap pergantian kepemimpinan.
Dampak dari tradisi yang tidak tertulis ini menimbulkan sesuatu yang bermuara pada rupiah ( perangkat yang diganti menuntut pangarem atau uang kadedeh) yang nilainya sangat berpariasi.
Tidak berhenti sampai disitu, perangkat penggantipun akhirnya dituntut untuk menyediakan Rupiah yang nilainyapun sangat berpariasi.
Inilah realita yang terjadi karena adanya aturan yang tidak melihat terhadap dampak dari aturan itu sendiri. Andai saja aturan tentang Hak Kuwu dan Hak perangkat yang bersangkutan dengan masa berlaku SK ( Surat Keputusan ) dapat dikaji dan dirubah dengan bijak, persoalan kelasik tersebut tidak akan hadir dalam setiap pilwu.
Sangat sesuai atau pas jika masa berlaku Sk Perangkat desa berlaku dan disesuaikan dengan masa bakti Kuwu, dalam artian, jika masa bakti Kuwu 5 Tahun, maka SK perangkat pun berlaku hanya 5 tahun.
Andai saja ketentuannya seperti itu, maka dengan sendirinya dengan kuwu baru maka SK pun akan baru, jika perangkat yang masa baktinya telah selesai dan akan diangkat kembali, maka kuwu akan mengeluarkan SK baru.
Yang membuat persoalan terkesan bobodoran adalah SK Perangkat dikeluarkan oleh Kuwu, namun seolah kekuatannya lebih kuat dari kekuatan kuwu itu sendiri, faktanya, walaupun sudah terjadi pergantian Kuwu, seolah Perangkat yang akan diganti menolak dengan dalih pemberhentian harus memenuhi berbagai tahap, jika ini tetap dibiarkan, maka permainan jual beli jabatan melalui topeng pergantian akan terus terjadi, yang sedihnya lagi ini dianggap sebuah teradisi dan dipertahankan sebagai simbul keunikan pilwu.Wallahualam.