Mau tidak mau Pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM subsidi pada 3 September 2022. Harga Bio solar subsidi tadinya Rp5.150 per liter dinaikkan menjadi Rp6.800 per liter, Pertalite naik dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter, dan Pertamax naik dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter. Respons masyarakat terhadap kenaikkan harga BBM subsidi beragam.
pemerintah telah menyiapkan tiga bantalan sosial untuk tetap menjaga daya beli masyarakat dengan anggaran senilai Rp24,17 triliun. Bantalan sosial pertama berupa BLT BBM senilai Rp12,4 triliun untuk 20,65 juta keluarga penerima manfaat. BLT BBM tersebut akan diberikan kepada keluarga miskin masing-masing sebesar Rp150.000 per bulan dan diberikan selama 4 bulan, mulai September hingga Desember mendatang.
Bantalan sosial kedua berupa subsidi upah bernilai Rp9,6 triliun untuk 16 juta pekerja formal dengan gaji di bawah Rp3,5 juta per bulan. Besarnya bantuan subsidi upah tersebut seniai Rp600.000 per penerima. Bantalan sosial ketiga berupa bantuan transportasi untuk pengemudi ojek dan nelayan serta tambahan bansos dari 2% dana alokasi umum dan bagi hasil (Bisnis Indonesia, 5 September 2022).
Namun, pemberian tiga bantalan sosial di atas terlalu sederhana untuk diyakini tetap menjaga daya beli masyarakat. Paling tidak ada empat alasan.
Pertama, tiga bantalan sosial memiliki potensi untuk menimbulkan demand pull inflation. Inflasi sisi permintaan ini dapat terjadi akibat pemberian bantalan sosial memicu masyarakat penerima bantuan untuk meningkatkan konsumsinya. Kondisi ini selanjutnya berpotensi menyulut pelaku usaha untuk menaikkan harga barang dan jasa yang dipasok. Akibatnya, tiga bantalan sosial BBM tidak berfungsi optimal untuk menjaga daya beli masyarakat.
Kedua, dampak kenaikan BBM tidak hanya terbatas menimbulkan inflasi, tetapi juga akan menimbulkan pengangguran. Peganggguran ini terjadi karena kenaikan BBM dapat membebani biaya produksi pelaku usaha. Bahkan parahnya, sering solusi menyikapi kenaikan biaya produksi memaksa pelaku usaha merumahkan pekerja atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga menambah jumlah penganggur.
Ketiga, argumentasi untuk menyatakan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat non-miskin memang merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri. Namun, harus dicatat dengan naiknya harga BBM saat ini, para pengguna BBM subsidi yang dikategorikan tidak tepat sasaran tersebut tentunya tidak akan berdiam diri. Mereka dipastikan menaikkan harga barang dan jasa yang dipasoknya sebagai kompensasi kenaikan harga BBM saat ini. Inflasi bukan malah terjaga, tetapi justru meningkat.
Keempat, kenaikan harga BBM menurunkan daya saing produk khususnya yang diproduksikan atau dipasok usaha mikro kecil menengah dan koperasi(UMKMK). Kenaikan harga produk UMKMK dipastikan mematikan usaha mereka akibat adanya persaingan produk yang sama dari luar negeri. Ujungnya, bukan konsumsi dan daya beli masyarakat terhadap produk UMKMK dalam negeri yang meningkat, tetapi justru meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap produk impor.
Yang lebih dirasa tidak adil adalah pendataan yang kurang bijak, betapa tidak, Masyarakat penerima BLT Subsidi BBM merupakan penerima program BPNT atau Bantuan Pangan Non Tunai, yang berdampak pada pemerintahan Desa yang dianggap tidak adil.
Bahkan penyaluran BLT Subsidi BBM kerap membuat para kepala Desa atau Kuwu merasakan dampak karena desakan warga yang terkesan kuwu tidak adil, sementara yang melakukan pendataan bukan dari pihak Pemerintah Desa, dari sekian banyak persoalan, tidak sedikit para kuwu yang mengharapkan agar penyaluran dan pendataan sepenuhnya diserahkan kepada pihak pemdes, toh dalam akhirnya akan ada laporan pertanggungjawaban.
Satu yang harus dilakukan adalah adanya pengetatan pengawasan dan sangsi tegas bagi mereka yang memanfaatkan program orang miskin demi keuntungan pribadi.
Keadilan harus dibarengi penegakan Hukum, agar tidak terjadi penyelewengan dengan dalih yang beragam. (Dilansir dari berbagai sumber)