Bagian 1 babad Desa Astanajapura
Indomedianewsc-Pada awalnya Desa Astanajapura merupakan sebuah padukuhan yang
berada di naungan wilayah Kerajaan Medang Kamulyan dengan rajanya bernama Handahiyang dan senopatinya Amuk Marugul yang
peninggalan keratonnya
sekarang masuk pada wilayah Desa Japura Kidul, Kecamatan Astanajapura,
Kabupaten Cirebon.
Senopati Kerajaan Medang Kamulyan, yakni Senopati Amuk Marugul
sangat kental dengan orang yang sakti mandraguna, sehingga dengan
kesaktiannya ia akhirnya lupa akan dirinya dan dalam mendampingi Raja
Handahiyang
memerintah
dengan
semena mena dan dengan penuh keangkaramurkaan. Akhirnya di kerajaan tersebut terjadilah kehancuran moral.
Melihat keadaan yang demikian, maka raja Handahiyang berfikir serius
dengan para petinggi kerajaan serta mengajak keponakannya yang juga putra mahkota pajajaran yakni Pangeran Gagak Lumayung untuk mencari solusi bagaimana menghentikan keangkaramurkaan yang timbul akibat ulah ki Amuk Marugul tersebut. Dan diperoleh
lah solusi atas musyawarah tersebut dengan cara
mengadakan sayembara, yakni sayembara mencari jodoh anaknya (anak raja
Handahiyang) karena pada saat itu anak sang raja sudah saatnya/umurnya sudah pantas berkeluarga.
Sayembara tersebutpun diumumkan keselu
ruh penjuru bangsa, Sang Raja
Handahiyang berkenan mengadakan sayembara putrinya bahwa barangsiapa yang
menang dalam sayembara akan dinikahkan dengan putrinya dan kelak dinobatkan
sebagai penggantinya. Dan saat sayembara diadakan, Ki Amuk Marugul ikut serta
dan dalam pertandingannya ia selalu menang, tidak ada tandingannya.
Dengan di dorong rasa tanggungjawabnya baik selaku kesatria juga sebagai keponakan sang raja dan keadaan masyarakat yang sudah bobrok moral akibat Ki Amuk Marugul, maka Pangeran Gagak
Lumayung yang masyarakat sekitar
mengenalnya dengan sebutan Pangeran Sindang Garuda tidak terima dengan
keadaan tersebut, maka beliau ikut serta bertanding di kancah sayembara itu dan diseranglah Senopati Amuk Marugul hingga terjadilah perang tanding antara Senopati Amuk Marugul dengan pangeran Gagak Lumayung.
Dan dalam pertempuran tersebut Senopati Amuk Marugul dapat dipukul
mundur sampai ia berlari ke daerah pesisir timur wilayah kerajaan yakni di Desa Rawaurip Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon dan beru
bah wujud menjadi
Belut Putih, kemudian masuk ke dalam sumur yakni “Sumur Lumer” dan sumur tersebut sampai sekarang masih ada.
Keterangan lain bahwa Senopati Amuk Marugul tersebut larinya ke ujung
pesisir Kabupaten Cirebon yakni di Kecamatan Losari Desa
Tawangsari (sekarang) dan berubah wujud menjadi buaya putih, bahkan menurut cerita mistik yang berkembang jika ada penggedug Desa Astanajapura kesana maka muncullah
buaya putih itu yang merupakan perwujudan Senopati Amuk Marugul yang
belum puas atas kekalahan
dari Pangeran Gagak Lumayung.
Dari kekalahan Senopati Amuk Marugul atas Pangeran Gagak Lumayung maka terbebaskanlah Kerajaan Medang Kamulyan dari kehancuran dan akhirnya dinobatkanlah Pangeran tersebut menjadi Raja di kerajaan tersebut tetapi nama kerajaan diganti menjadi “Kerajaan Japura”
Nama Japura sendiri diambil dari ucapan Ki Nuhun yang ternyata adalah
Sunan Gunung Jati ketika ia marah kepada masyarakat kerajaan kala itu, karena
pada saat itu mereka
Islamnya penuh kepura-puraan yakni kalau ada Ki Nuhun
mereka pura-pura Islam
tetapi ternyata apabila tidak ada Ki Nuhun mereka berperilaku tidak Islam
seperti pesta minum-minuman keras, makan daging babi
dan lain-lain.
Bahkan konon kepala babinya mereka gantungkan di serambi
mesigitnya (masjidnya) maka spontan Ki Nuhun marah dengan kalimatnya bahwa Islam itu “Ja pura-pura” dan menendang masjid agar tidak di kotori oleh ha-hal yang dilarang agama sampai masjid itu terlempar ke laut kidul yakni di Nusakambangan, tepatnya di Kecamatan Pembantu Laut Kabupaten Cilacap
dengan nama “Mesigit Sela” namun mesigit tersebut tidak digunakan untuk sholat jum‟at tetapi hanya tempat ziarah saja.
Sedangkan sumur dari masjid itu sampai sekarang masih tetap berada di
tempat semula yakni sekarang masuk dalam wilayah Desa Japura Lor Kecamatan
Pangenan Kabupaten Cirebon, dengan nama “Sumur Mesigit Lawas”.
Dari perkataan Ki Nuhun inilah yang kemudian menjadi nama sebuah kerajaan yakni “Kerajaan Japura”.
Karena perlu diketahui pada saat jatuhnya kerajaan
Medang Kamulyan oleh Pangeran Gagak Lumayung, pada saat itu pula pengaruh Islam yang dibawa oleh Ki Nuhun (Sunan Gunung Jati) telah masuk ke wilayah
tersebut dengan bukti beliau telah mendirikan “Mesigit” (masjid) sebagai tempat pendidikan dan ibadahnya. Bahkan sampai dua kali yakni pertama “mesigit Lawas” yang ditendang ke pulau Nusakambangan, yang kedua “Mesigit Kramat” yang juga akhirnya disepak dengan sikilnya (kakinya) karena menganggapnya
bahwa mesigit (masjid) ditempat itu kurang manfaat, sehingga akhirnya
tempat/blok itu dinamai “Blok Singkil” (Sekarang masuk wilayah Desa
Astanajapura). Dan mesigit kramat tersebut ber
geser ke timur, sehingga akhirnya
tempat / blok tempat baru mesigit tersebut dinamai “Blok Karang Mesigit”
(sekarang masuk wilayah Desa Japurakidul) dan mesigitnya sekrang bernama
“Masjid Al-Karomah”.
Sedangkan sumur dan bak air serta gayung dari Mesigit
Kramat yang semuanya terbuat dari emas diinjak oleh Ki Nuhun (Sunan Gunung Jati) sehingga semuanya hilang. Tetapi menurut cerita masyarakat sekitar bahwa sumur, bak dan gayung mesigit tersebut kadang muncul, namun kepada orang yang dikehendaki saja.
setelah Pangeran Gagak Lumayung (Pangeran Sindang Garuda) wafat
dan dengan semakin padatnya penduduk serta berkembang nya sistem tata pemerintahan yang dikembangkan oleh Ki Nuhun, maka wilayah kerajaan Japura
di ubah menjadi bukan lagi tata kerajaan tetapi sistem padukuhan yang dikepalai
oleh seorang Kuwu. Perubahan dan pemekaran tersebut terjadi pada tahun 1813
M, bahwa wilayah pusat pemerintahan kerjaan Japura dibagi tiga padukuhan
yakni Padukuhan Astanajapura, Japura Lor dan Japura Kidul.
Menurut keterangan yang diperoleh dari para sesepuh bahwa nama
“Astanajapura” sendiri diambil dari perpaduan kata “Astana” yang berarti
Kuburan dan “Japura” yang berarti merujuk ke Kerajaan Japura karena dulu kerajaan Japura hanya mempunyai satu astana (kuburan) yakni
kuburan yang sekarang terbawa dalam wilayah Desa Astanajapura sehingga para raja dan penggedug/Ki Geden Japura seperti Pangeran Gagak Lumayung (Pangeran Sindang Garuda) di kala wafat di kuburnya di astana (kuburan tersebut).
Sedangkan menurut keteranganlain bahwa “Astanajapura” diambil dari
kata “astana” dan kata “asta” yang berarti “tangan/kekuasaan/penguasa” dan “Japura” berarti merujuk ke Kerajaan Japura. Hal ini karena katanya Raja Kerajaan Japura wafat dan dikuburnya yakni Pangeran Gagak Lumayung (Pangeran Sindang Garuda). Sekarang padukuhan ini menjadi sebuah Desa yakni “Desa Astanajapura”
. Pangeran Sindang Garuda wafat di Astanajapura dan
persemayaman terakhir di Maqbaroh Desa Astanajapura Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon-Jawa Barat.
Dalam memimpin pemerintahannya Pangeran Sindang Garuda didampingi
oleh penasehat spiritualnya Syech Abdullah Iman yang kerap disebut oleh
masyarakat Syceh Abdul Iman juga di dampingi oleh kaula yang sangat setia yaitu Siti Fatimah (Nyi Ratu Ganda).
Dan karena beliau-beliau ini walaupun memimpin pemerintahan juga telah masuk
Islam dan berkapasitas sebagai ulama-ulama besar maka sekarang masyarakat banyak berziarah di tempat maqbaroh
guna mencari berkahnya.