Penulis ( R. Agus S. )
Penyaluran BLT Dana Desa terjadi dua persoalan yang keduanya saling berlawanan, dimana penyalurannya dilakukan secara merata berdasarkan Musdesus atau sesuai ketentuan Kemendes, yaitu setiap Penerima akan memperoleh Haknya sebesar Rp/ 600.000 yang saat ini berubah menjadi Rp.300.000.
Pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) mulai April sudah mulai mencairkan dana bantuan langsung tunai (BLT) dana desa di seluruh wilayah di Indonesia. Metode pencairannya akan dilakukan bertahap dimulai dari bulan April ini hingga Juni 2020. Pada setiap bulannya setiap kepala keluarga miskin akan mendapatkan jatah masing-masing sebesar Rp600.000. Jika ditotal nantinya masing-masing akan menerima Rp1,8 juta. Awalnya, pendistribusian ini dengan skenario awal yakni melalui cara nontunai. Namun demikian, karena kondisi yang berbeda di setiap daerah, pendistribusian ada yang menggunakan cara secara langsung, bahkan melalui pintu ke pintu atau door to door, untuk mengurangi kerumunan massa. Ini dilakukan sebagai salah satu cara menghindari kerumunan warga serta mendukung program pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19. ADVERTISEMENT Ini artinya, BLT dana desa dapat diberikan kepada penerima secara nontunai atau transfer perbankan. Pun demikian. jika benar-benar tidak memungkinkan untuk dilakukan dengan cara itu, bantuan juga boleh diberikan secara tunai. Hal yang paling utama adalah dana bantuan itu sampai ke penerima BLT dan bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. Seperti diketahui, Kemendesa PDTT menyiapkan anggaran sebesar Rp 22 triliun dari pagu dana desa 2020 untuk memberikan BLT kepada 12 juta keluarga miskin di berbagai daerah. Para penerima ini merupakan keluarga miskin yang selama ini diperuntukkan bagi mereka yang belum mendapat bantuan dari skema jaminan kesejahteraan sosial lainnya. BLT dana desa diberikan kepada warga kurang mampu di desa yang belum mendapatkan program bantuan pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan kartu prakerja. Dana desa diperbantukan untuk memberikan BLT kepada masyarakat miskin atau ekonomi lemah karena pandemi COVID-19 ini.
Menurut data dari Kemendes, dana desa yang dialihkan untuk BLT tersebut sekitar 31 persen dari total Rp72 triliun atau sebesar Rp22,4 triliun. Program itu akan disalurkan bagi 12,3 juta kepala keluarga (KK) terdampak COVID-19 dan diserahkan oleh kepala desa serta perangkat desa. Alokasi pemberian BLT dibagi dalam tiga tingkatan dengan merujuk pada besaran dana desa. Pertama, desa yang memiliki anggaran kurang dari Rp800 juta, BLT dialokasikan sebesar 25 persen. Kedua, desa yang memiliki anggaran Rp800 juta hingga Rp1,2 miliar mengalokasikan BLT sebesar 30 persen. Dan ketiga adalah desa dengan anggaran di atas Rp1,2 miliar BLT yang dialokasikan 35 persen. Untuk itu, perlu ada revisi APDes dengan merujuk pada Permendagri nomor 69 tahun 2018. Dana desa akan fokus ke tiga hal yaitu penanganan COVID-19, Program Padat Karya Tunai Desa dan BLT. Berkaca kasus korupsi dari Bansos
BLT Dana desa tersalurkan sesuai peruntukkannya adalah menjadi harapan besar. Namun demikian, kita ingat bahwa dana sebesar itu memiliki celah kerawanan dalam penggunaannya. Kita masih ingat beberapa peristiwa di negeri ini banyak bantuan sosial, disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Dan, rata-rata dilakukan oleh oknum pejabat atau mantan pejabat. Sebagai contoh data yang diperoleh dari KPK beberapa waktu lalu, kasus penyelewengan dana bansos yang melibatkan pejabat, seperti mantan gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho dihukum 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta secara sah dan meyakinkan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana hibah dan bansos. Kemudian, mantan sekda kabupaten Tasikmalaya, Abdul Kodir divonis 1 tahun 4 bulan pidana terkait korupsi dana bansos juga. Mantan kepala dinas pendapatan Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, divonis tiga tahun penjara karena korupsi dana bansos. Juga ada mantan ketua DPRD Bengkalis, Riau, Heru Wahyudi, divonis 18 tahun karena korupsi dana bansos. Belum lagi mantan Menteri Sosial. Contoh-contoh tersebut tentu menjadi cermin bahwa BLT dana desa juga memiliki peluang yang sama untuk disalahgunakan oleh oknum tertentu. Dari hal itulah, kita pantas berkaca dan mengawal bahwa dana sebesar itu harus sesuai dengan peruntukkannya, yakni untuk mereka masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Dan, hal itu harus sesuai dengan data penerima yang sah dan layak. Paling tidak dengan menyesuaikan skala prioritas penerima BLT melalui dana desa. Jangan sampai nanti menjadi salah sasaran, datanya berbeda dengan data sebenarnya atau malah memberikan dana bagi mereka yang tidak berhak. Jangan pula sampai terulang kembali diselewengkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Oleh karenanya, ada beberapa hal yang mesti menjadi catatan, untuk meminimalisir terjadinya penyelewengan dana desa untuk masyarakat terdampak Covid-19. Pertama adalah faktor komunikasi antar stake holders atau pemangku kepentingan, mulai dari kepala desa, perangkat desa,camat dan sebagainya yang terkait dengan distribusi BLT. Kedua, peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga kontrol tingkat desa sangat diharapkan. Banyak desa yang BPDnya sering memiliki konflik interest dengan perangkat desa setempat sehingga fungsi kontrol menjadi tidak maksimal. Ketiga, adalah perlu inten keterlibatan masyarakat dalam mengawasi penggunaannya. Secara umum modus korupsi yang muncul dalam penyaluran dana bansos,biasanya mengurangi jatah penerima atau bahkan ada yang tidak menerima bansos sama sekali. Pelaku membuat daftar penerima bantuan fiktif. Jadi sebenarnya penerima bantuan itu tidak ada tapi dana tetap dikeluarkan. Keempat, optimalisasi UU Desa no 6 tahun 2014 dan Undang-undang no.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik desa harus ditaati. Termasuk pembentukan PPID Desa di beberapa daerah belum terbentuk bisa segera terealisasi. PPID adalah Petugas Pelaksana Informasi dan Dokumentasi
saat ini ada perubahan besaran penerima BLT DD sebesar Rp.300.000 yang tidak menutup kemungkinan akan selalu ada perubahan disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Sayangnya realisasi yang tidak sedikit terjadi dalam Pemerintahan Desa adalah timbulnya dua pemahaman diantara ketentuan Kemendes yang mengharuskan Masyarakat menerima BLT DD sebesar ketentuan, namun kerap penerimaannya dilakukan secara merata dengan dalih kebijakan yang berpegang pada hasil Musyawarah Desa Khusus ( Musdesus )
Jika dalam penerapan BLT DD ini ada dua ketetapan yang sama-sama berdasarkan ketentuan, lantas pertanyaannya adalah apakah dasar Hukum yang dipakai Kemendes atau Musdesus ?
Semoga adanya dua hal tersebut tidak menimbulkan dan menciptakan perilaku korup yang akhirnya berhadapan dengan proses Hukum.
Dilansir dari berbagai Sumber