R. Agus Syaefuddin ( Wartawan Suara Cirebon )
Pemerintah membuat aturan yang mengikat tentang tata cara
pengangkatan maupun pemberhentian Perangkat Desa. Ironisnya, terkesan aturan
tinggalah aturan, yang pada kenyataannya aturan tetap terkalahkan oleh sesuatu
yang bernama kepentingan.
Hal ini sangat kentara, disaat dalam sebuah Pemerintahan
Desa berganti kepemimpinan ( Kuwu/Kepala Desa )
Betapa tidak, tiap kali terjadi Pergantian Kuwu Atau Kepala
Desa yang berdasarkan Hasil Pemilihan langsung, saat itu juga kerapkali terjadi
pergantian Perangkat Desa dengan berbagai dalih maupun alibi.
Ini terus terjadi dan seakan sudah menjadi tradisi yang
mengalahkan sebuah Aturan ataupun ketentuan.
Lantas siapakah yang bersalah ?
Dalam ketentuannya, seorang Kuwu atau Kepala Desa memiliki
Hak Preogratif, namun disisi lain Hak itu terhalang oleh sebuah ketentuan atau
tatacara tentang pengangkatan ataupun pemberhentian Perangkat Desa.
Inilah yang seharusnya menjadi kajian dengan kepastian, agar
persoalan paska pergantian Kepemimpinan tidak selalu menimbulkan persoalan.
Jika memang seorang Kuwu memiliki Hak Prigratif, maka
kewenangannya jangan dibatasi oleh sebuah aturan, karena pada kenyataannya
aturan tetap terkalahan dan tidak bisa menyelesaikan persoalan.
Sebaliknya, jika memang aturan tersebut sudah dibekukan,
maka tidak ada alasan untuk seorang Kuwu melakukan pergantian terhadap
jajarannya, dalam hal ini Perangkat Desa, terkecuali memang Perangkat Desa
tersebut tersangkut perkara atau mengundurkan diri maupun meninggal Dunia.
Inilah sebuah kenyataan yang selama ini terjadi, hingga
terus meninggalkan persoalan yang terkesan tidak bisa terselesaikan.
Jika kita menyalahkan Kuwu atau Kepala Desa untuk melakukan
pergantian Perangkatnya, mungkin ini juga kurang bijak. Karena seorang Kuwu
disaat menjelang pencalonan hingga penetapan dirinya menjadi seorang Kuwu,
tidak sedikit biaya maupun tenaga yang dikeluarkan, maka sudah menjadi sesuatu yang wajar, jika
Seorang Kuwu melakukan Pergantian Perangkatnya demi sesuatu sesuai harapannya.
Namun tidak bijak juga jika kita menyalahkan atau membiarkan
terjadi pergantian yang terkesan ada kesewenang-wenangan, karena seorang
Perangkat Desa yang Syah telah memiliki Surat Keputusan ( SK ) hingga masa
baktinya berakhir sesuai dengan aturan atau ketentuan yang telah ditetapkan,
terlebih lagi saat ini seorang Perangkat Desa telah memiliki identitas jelas
berupa NRPD (Nomor Registrasi Perangkat Desa ) yang kedudukannya hamper sama
dengan seorang Aparatur Sipil Negara.
Hingga akhirnya, selama Pemerintahan Desa masih menggunakan
Pola Pemilihan secara langsung, maka persoalan antara Kuwu dan Perangkat
Desanya tidak akan pernah terselesaikan, terkecuali Pemerintahan Desa telah
diganti dengan Kelurahan.
Yang lebih membuat kita merasa miris atau bahkan
menggelengkan kepala adalah Anggaran untuk seorang Calon Kuwu dalam berkampanye
atau menarik hati Rakyat, bisa melebihi Anggaran Pencalonan Seorang Anggota
Dewan yang meliputi berbagai Kecamatan, dan yang paling nyata adalah dampak Pencalonan
Kuwu adalah meninggalkan Rasa Dendam yang terkadang sulit untuk diredam, hingga
kerap terjadi perselisihan antar teman, Tetangga bahkan Keluarga.
Inilah yang harus kita semua renungkan dan fikirkan, apakah
kita akan membiarkan Persoalan tersebut
berjalan terus, atau kita bisa mencari solusi terbaik, agar Persoalan nyata
tersebut bisa kita hindari.
Pada Prinsipnya, membangun sebuah Desa atau apapun namanya, tidak selalu kita harus menjadi
Pemimpin atau Perangkat didalamnya,
semuanya tergantung niat dan tujuan.
Semua Orang mampu untuk membangun sesuatu yang terbaik,
asalkan mempunya niat dan keinginan yang kuat. Namun jika harapn tersebut hanya
digantungkan pada sesuatu yang bernama jabatan, maka tidak aneh, Jika
Permusuhan dan rasa paling mampu akan terus
tumbuh subur dengan meninggalkan Persoalan yang terus terjadi tanpa
mampu untuk dibendung terkecuali Nyawa sudah terlepas dari Raga. Wallahu’alam .