R.Agus
Syaefuddin ( Wartawan Suara Cirebon )
sebagian
besar umat Islam, mudik di penghujung Ramadaan merupakan sebuah ritual penting
nan sakral. Terutama bagi mereka yang berada nun jauh di perantauan. Setelah
lama berpisah dengan sanak keluarga dan handai tolan, tentunya ada kerinduan
yang mengusik untuk bisa kembali berkumpul dengan sanak keluarga. Pertemuan
jiwa dan raga yang penuh emosional antara anak dengan kedua orang tua dan
anggota keluarga lainnya, diyakini bukan hanya pertemuan biasa. Namun merupakan
bagian dari keasadaran diri seseorang dalam mengimplementasikan makna mudik
bagi kehidupan yang penuh dengan dinamika ini. Sejauh manapun burung terbang,
sekali waktu ia pasti kembali rumahnya.
Demikian
sakralnya berlebaran bersama keluarga lewat tradisi mudik ini, sehingga para
perantau telah jauh-jauh hari mempersiapkan bekal dan oleh-oleh untuk dibawa
pulang ke kampung halaman. Mudik juga bisa dimaknai sebagai kerinduan mencipi
penganan tradisional seumpama geukarah dan thimpan, atau berziarah ke makam
orangtua yang telah tiada. Bisa juga sebagai wadah merenda kembali tali
silaturrahmi yang sempat terputus dengan saudara dan orang sekampung.
Meski
untuk mudik dibutuhkan banyak pengorbanan, mulai dari mempersiapkan tiket moda
angkutan yang harganya melonjak tinggi saat menjelang lebaran. Atau pun
padatnya arus mudik jika pulang dengan kendaraan pribadi. Namun semua
pengorbanan itu terbayar lunas dan tidak bisa tergantikan harganya dengan nilai
dengan apa pun --bila telah bersua kembali dengan orang-orang tercinta di
kampong halaman.
Aroma
desa yang khas dengan kekentalan kekerabatan yang masih alami dibandingkan
kehidupan urban masyarakat kota yang penuh individualistik. Apalagi kala disambut tangis haru dan peluk cium dari
sanak keluarga. Sejatinya mudik Idul Fitri sebagai implementasi dari
kegembiraan dan jangan pula dirayakan secara berlebih-lebihan dan terkesan
sombong. Sebab ada juga sebagian para pemudik yang ketika pulang sengaja
memamerkan kemewahan seperti mobil baru dan barang-barang bawaan lainnya yang
terkadang bisa menimbulkan kecemburuan sosial dari warga desa.
Rasulullah selalu mengingatkan kita untuk mengulurkan
tangan terhadap para anak yatim dan para fakir miskin yang ada di sekitar kita.
Memang kaum duafa di pengujung Ramadhan
berhak atas zakat fitrah. Namun terasa tak adil, jika kita yang berpunya ini
hanya cukup merasa puas karena telah membayar zakat fitrah menjelang hari raya
tiba. Sementara di sekitar kita banyak anak-anak yatim yang butuh uluran tangan
di hari raya. Rasulullah saw bersabda, “Dekatilah mereka yang miskin, dan
cintailah mereka, niscaya Allah akan dekat dengan kamu.”
Rasul bahkan memungut seorang anak yatim yang
dilihatnya sedang beruraikan air mata di tengah-tengah sekumpulan anak-anak
lainnya yang berpakaian baru dengan mainan di tangan. Sementara si anak yatim
terlihat dekil dan kurus karena tak ada belaian kasih sayang dari kedua orang
tuanya. Lalu Rasul mendekatinya dan membawa pulang anak yatim itu ke rumah
baliau. Membelikannya pakaian baru, dan mengasihinya selayaknya anak sendiri.
Sehingga si anak merasa bergembira, tersanjung dan tertinggikan kembali
derajatnya.
Marilah sedapat mungkin untuk bisa membasuh air mata
para anak yatim dan fakir miskin di hari nan fitri ini. Membuat mereka tertawa
dan gembira, sesungguhnya itulah esensi mudik yang sesungguhnya. Bagi para
pemudik yang punya lebih rezeki akan sangat mulia rasanya, jika sebelum mudik
Idul Fitri, menanyakan terlebih dahulu kepada keluarga di kampung, berapa orang
ada anak yatim yang perlu disantuni. Berapa orang fakir miskin yang butuh
uluran tangan kita. Seperti firman Allah Swt, “Bila kamu bersyukur, pasti akan
menambah nikmat bagimu.” (QS. Ibrahim: 7). Para mukmin sejati wajib bersyukur atas
limpahan rahmat yang diberikan Sang Khalik.
Seyogyanya,
ketika pintu Ramadhan telah tertutup, sebenarnya masih ada pintu lainnya yang
disuruh buka oleh Allah dan Rasul, yaitu dengan menjenguk mereka yang papa.
Jadi mudik Idul Fitri bukan sekadar pamer hasil kekayaan pada orang kampung.
Namun menjadikan mudik lebih bermakna lagi dengan mencontoh perilaku
Rasullullah dengan menyayangi anak yatim tanpa pamrih.