6 Sep 2023

Pilwu " Demokrasi yang dikekang"

Penulis : R.Agus Syaefuddin

Fenomena pemilihan kepala desa atau pilwu, merupakan sesuatu yang tidak bisa terlepas dari hal magiz atau politik uang.
Tidak bisa dipungkiri, bukan hanya magiz dan selebaran rupiah, namun permainan para penjudi pun turut meramaikan dengan berbagai intrik yang dimainkannya.
Namun ada satu hal yang membuat pilwu semakin terasa rumit,akibat adanya aturan yang seakan meringankan namun nyatanya memberatkan.
Betapa tidak, demokrasi Rakyat yang seharusnya dibebaskan sebebas bebasnya, namun nyatanya dikekang oleh aturan yang bisa menguntungkan namun bisa pula merugikan sebagian pihak.
Contoh nyata adalah adanya aturan batas maksimal dan minimal bagi calon kuwu.
Paling banyak calon kuwu dibatasi 5 Orang dan paling sedikit 2 Orang.
Jika ada calon lebih dari lima, maka akan dilakukan tes, sementara jika calon kurang dari dua, maka pilwu tidak dapat dilaksanakan.
Seharusnya jika memang demokrasi menjadi landasannya, maka tidak ada aturan maksimal 5 dan minimal 2. Biarkan Rakyat menentukan pilihannya, dalam artian, mau lima atau lebih, biarkan berjalan apa adanya, kalaupun calon hanya satu, biarkan Rakyat yang menentukan.
Bukankah Kuwu adalah sosok atau calon yang dipilih atas keinginan warga secara langsung, jika ada aturan yang membatasi, maka dimana letak demokrasi yang hakiki, Kuwu itu sosok yang saling mengenal, baik calon pemilih atau yang dipilih, jadi semuanya serahkan kepada kebijakan warga itu sendiri.
Realita yang ada, karena adanya aturan minimal 2 calon, maka ada istilah calon boneka.
Dengan adanya aturan batas minimal dan maksimal, maka patut diduga adanya permainan yang dilakukan calon berdasarkan kepentingan pribadi.
Betapa tidak, karena adanya batasan maksimal 5, maka jika calon lebih dari 5 akan dilakukan tes kelayakan, disinilah mulai terjadi permainan yang dilakukan pihak tertentu agar lawan politiknya gagal dalam mengikuti tes, untuk memenuhi keinginannya, maka calon tertentu akan mencari cara dengan mendaftarkan orang-orang pilihannya untuk mengikuti tes dengan harapan lawan pokitiknya atau pesaingnya gagal dalam tes hingga gagal pula untuk mengikuti pemilihan kuwu.
Apabila calon nya hanya 1, maka bagaimana caranya mencari calon tambahan, termasuk mengikutkan anak atau istrinya agar mencalonkan menjadi kuwu, inilah permainan yang terjadi dalam pilwu yang digadang gadang demokrasi, namun pada kenyataannya demokrasi yang dikekang hingga menimbulkan kecurangan yang dianggap hal biasa.
Jika aturan dan ketetapannya tetap diberlakukan seperti ini, maka jangan harap pemerintahan desa berjalan sesuai harapan, karena adanya permainan yang membenarkan dan menghalalkan segala cara.yang lebih parah lagi, paska pilwu akan timbul dendam dan ketidak puasan yang berkepanjangan.

0 $type={blogger}: