Indomedianewsc-Di tengah-tengah imperialisme Belanda dan Jepang di satu sisi dan masa pengembangan Pondok pesantren Buntet di sisi lain, lahirlah seorang ulama masyhur dan pejuang tangguh tanpa tanda jasa. Beliau adalah ‘Abbas b. KH. ‘Abdul Jamil yang lahir pada hari Jum’at, 24 Dzulhijjah 1300 H/1879 M, di desa Pekalangan, Cirebon, Jawa Barat.
KH. ‘Abbas lebih dikenal dengan sebutan mbah ‘Abbas. Ayahnya KH. ‘Abd al-Jamil adalah putra KH. Muta’ad, sedangkan KH. Muta’ad adalah menantu dari KH. Muqoyyim pendiri pondok pesantren Buntet, Cirebon Jawa Barat.
Pada masa kejayaannya, mbah ‘Abbas adalah seorang ulama yang berpandangan luas dan bersikap terbuka terhadap para ulama, intelektual dan politisi. Dengan cara pandang dan sikapnya ini, beliau juga tak sungkan-sungkan bilang secara terus terang terhadap santri-santrinya dalam mengajarkan ilmunya. Sedangkan sebagai pejuang , mbah ‘Abbas berfikir tajam dan bertindak tepat untuk memainkan peran di tengah-tengah pergolakan politik Indonesia yang mencekam ; imperialisme Belanda, gerakan fasisme Jepang, agresi Belanda dan perjuangan revolusi kemerdekaan.
Pada masa senjanya, mbah ‘ Abbas lebih banyak berkonsentrasi pada aktifitas dakwah di masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian (batini dan badani), sebagaimana dituturkan oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML, murid kesayangannya, bahwa tidaklah aneh bila mbah ‘Abbas menerima tamu tertentu langsung di bawa masuk ke kamar privasinya, maka pada saat itu akan terdengar gaduh seperti ada kelebatan tangan dengan bunyi plak…plak atau gerak kaki yang saling menghentak dengan bunyi hiat……hiat”
Di waktu kecil, KH. ‘Abbas adalah seorang santri yang menggali ilmu pengetahuan agama (‘ilm din) dari satu pondok pesantren yang lain sesuai dengan spesialisasi ilmu yang dipunyai kyai. Dalam tradisi pondok pesantren, santri demikian dikenal denga istilah “santri keliling”.
Awalnya KH. ‘Abbas mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan agama dibimbing oleh ayahandanya sendiri KH. ‘Abd Al-Jamil. Tak lama kemudian beliau merantau ke pondok pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon. Di bawah bimbingan Kyai Nasuha beliau mengkaji ilmu pengetahuan agama lanjut. Ketidakpuasan di pondok pesantren Sukanasari membuat beliau harus pindah ke pondok pesantren Salaf Jatisari. Di pondok pesantren salaf ini beliau dibimbing oleh Kyai Hasan.
Ternyata, beliau merasa belum puas nyantri di Jawa Barat sehingga beliau merantau ke pondok pesantren di Tegal, Jawa Tengah yang diasuh oleh kyai ‘Ubaidah.
Di pondok pesantren ini juga mengharuskannya merantau kembali ke Jawa Timur pada pondok pesantren Tebu Ireng Jombang. Di bawah bimbingan Hadratussyekh Hasyim ‘Asy’ari, kyai dan ulama kharismatik NU, beliau mencapai pemahaman tertinggi dalam pencarian dasar-dasar ilmu pengetahuan agama. Di samping belajar, di pondok pesantren ini beliau bersama KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Abdul Manaf ikut berpartisipasi mendirikan pondok pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.
Setelah merasa cukup memahami dasar-dasar ilmu pengetahuan agama, beliau merantau kembali ke tanah suci, Mekkah al-Mukarromah, Saudi Arabia untuk memperdalam lagi ilmu pengetahuan agama.
Di kota suci ini, beliau belajar bersama dengan KH. Bakir dari Yogyakarta, KH. ‘Abdillah dari Surabaya dan KH. Wahab Chasbullah dari Jombang. Bahkan di sini beliau pernah belajar kepada KH. Machfudz al-Termasi, Pacitan, Jawa Timur.
Kepiawaiannya sebagai ulama dan kepahlawanannya sebagai pejuang tidak bias nampak, selain pemikiran dan perjuangan mbah ‘Abbas ini diungkapkan di sini lewa situasi dan kondisi yang terjadi pada masa hidupnya. “Di mana dan kapan beliau berani memilih cara pandang hidupnya serta bagaimana kiprahnya?”
melalui catatan sejarah yang ada, jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu menjadikan tulisan ini menarik da signifikan.
Pondok pesantren Buntet didirikan pada tahun 1750 M oleh kyai Muqoyyim b. Abdul Hadi. Sebagai perintis pertama pondok pesantren Buntet ini kyai Muqoyyim lebih dikenal dengan panggila mbah Muqoyyim. Persisnya, pondok pesantren ini terletak di dusun Kedungmalang, desa Buntet, Cirebon. Sebagai bukti sejarah petilasannya bias dilihat berupa pemakaman para santrinya.
Sebelumnya, mbah Muqoyyim adalah seorang mufti (pejabat keagamaan dan penghulu) di kesultanan Kanoman, Cirebon. Tepatnya mufti dari sultan Khairuddin I yang memiliki anak Sultan Khairuddin II yang lahir pada tahun 1777 M. ia merasa tidak puas dengan gaya kehidupan imperialis Belanda yang mempengaruhi kehidupan kesultanan. Oleh sebab itu, jabatan terhormat itu ditinggalkannya hanya sebab dorongan dan rasa tanggungjawabnya terhadap agama dan bangsa.
Di samping itu, karena ia memilih sikap dasar politik yang non-cooperative terhadap imperialis Belanda yang secara politis telah menduduki Kesultanan Kanoman.
Atas dasar pemikiran itu, mbah Muqoyyim berhijrah ke perkampungan Buntet. Awalnya di perkampungan ini, ia hanya sekedar membangun masjid sederhana dengan maksud supaya masyarakat sekitarnya bias melaksanakan shalat berjama’ah dan bimbingan ibadah. Akan tetapi, tak lama kemudian dengan melihat tindak-tanduknya di tengah-tengah masyarakat Buntet, imperialis Belanda melakukan tekanan.
Oleh karenanya, beliau harus berhijrah kembali dari satu wilayah ke wilayah yang lain selama kurang lebih delapan tahun antara lain ke Pesawahan Lemah Abang, Tuk Karangsuwung sampai ke Beji, Pemalang, Jawa Tengah.
Sebagaimana dituturkan oleh putra KH. Abdullah ‘Abbas dan sekarang menjadi salah seorang pimpinan pondok pesantren buntet, bahwa : “hampir setiap hari tentara imperialis Belanda terus-menerus melakukan patroli di wilayah pondok pesantren. Memang suasananya tampak mencekam dan menakutkan, tetapi para santri tetap mengikuti aktifitas ngaji. Di samping itu sebagian para santri ikut bergerilya. Ternyata imperialis telah mengetahui jika pondok pesantren ini menjadi salahsatu basis perlawanan kaum republic-Hizbullah”.
Akhirnya setelah merasa aman beliau kembali ke Buntet, tepatnya di blok Gajah Ngambung. Menurut masyarakat sekitar, disebut blok Gajah Ngambung karena beliau mempunyai Gajah Putih. Pada tahun 1758 M inilah mbah Muqoyyim merintis ulang cita-citanya endirikan lembaga pendidikan pesantren. Baginya, membangun pondok pesantren bukan hanya sekedar pembangunan fisik (material development) untuk proses belajar mengajar (ngaji), tetapi juga pembangunan spiritualitas (spiritual development) untuk menghadapi kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, untuk merealisasikan cita-citanya beliau melaksanakan puasa selama duabelas tahun tanpa putus yang makna spiritualnya (spiritual meaning) diarahkan pada empat sasaran ; pertama, puasa tiga tahun untuk kesejahteraan, keamanan dan keberlanjutan pondok pesantren.Kedua, puasa tiga tahun untuk kesejahteraan anak keturunannya. Ketiga,puasa tiga tahun untuk para santri dan pengikut setianya. Terakhir, puasa tiga tahun untuk kepentingan dirinya sendiri di dunia dan akhirat.
Sepeninggal mbah Muqoyyim, kyai Muta’ad adalah cucu dari mbah Muqoyyim sendiri menggantikan posisi kakeknya untuk melanjutkan kepemimpinan podok pesantren Buntet dengan dukungan putranya yaitu kyai Anwaruddin Kriyani yang dikenal dengan nama Ki Buyut Kriyan. Pada masa ini kyai Muta’ad sebagai perintis kedua melanjutkan cita-cita dan pembangunan pondok pesantren dari mbah Muqoyyim.
Sedangkan kyai Kriyani melanjutkan kepemimpinan pondok pesantren dan di samping itu beliau mengajarkan tarekat Syattariyah hingga di angkat sebagai mufti di keraton Kesultanan Kanoman. Tarekat Syattariyah merupakan tarekat pertama yang dikembangkan di pondok pesantren Buntet.
Alhasil dalam kepeimpinan kyai Kriyani ini santri pondok pesantren menjadi bertambah beratus-ratus.
Pada masa pengembangan awal ini, pondok pesantren Buntet dipimpin oleh Kyai Jamil (1842-1919). Untuk membangun pondok pesantren itu, beliau menitikberatkan pada aspek pendidikan. Untuk itu beliau memfokuskan pengembangan pondok pesantren dalam satu lokasi sehingga diharapkan proses belajar mengajar berjalan secara intensif. Dalam kepemimpinannya didukung penuh dari keluarga-anak-cucu dan keturunan mbah Muqoyyim.
Kyai Jamil adalah ulama dan intelektual yang berpandangan luas. Beliau pernah merantau untuk belajar di pondok pesantren Mayong, Jepara, Jawa Tengah dan belajar di Mekkah al-Mukarromah. Oleh karenanya, beliau termasuk ulama dan intelektual yang terpandang. Hal demikian bias dilihat dari kitab kuning yang diajarkan olehnya adalah kitab-kitab kelas tinggi (mumtaz). Misalnya, Fathul Wahhab, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Suzur al-Zahhab dan Alfiyah.
Untuk merealisasikan gagasannya, beliau mengembangkan program pengajaran modern yaitu membuka program kelas regular dan kelas khusus, yang dimaksud dengan program kelas regular adalah pengajaran yang dilaksanakan pada waktu biasa, sedangkan pogram kelas khusus adalah pengajaran yang diadakan khusus selama bulan Ramadhan. Dengan demikian, apabila kita analisis perbedaan antara masa perintisan dan masa pengembangan awal pondok pesantren terletak pada dimensi pengajaran. Jika pada masa perintisan, dimensi pengajaran diarahkan pada dasar-dasar spiritual, maka pada masa pengembangan awal dititikberatkan pada dasar-dasar akademis.
Selanjutnya, pada masa pengembangan kedua, pondok pesantren Buntet dipimpin oleh mbah ‘Abbas. Kepemimpinannya didukung oleh kyai Anas dan kyai Akyas dalam mengembangkan pondok pesantren di satu sisi dan menyebarkan tarekat Tijaniyah di sisi lain. Ketiga saudara kakak beradik tersebut adalah menantu dari mbah Muqoyyim.
Di sini, mbah ‘Abbas sebagai tokoh dan ulama pimpinan pondok pesantren Buntet tampak kepiawaiannya dalam mengembangkan tarekat Tijaniyah. Tijaniyah ukanlah tarekat yang baru di pondok pesantren ini, karena sebelumnya tarekat Syatariyah sudah ada. Oleh karena itu kehadiran kedua tarekat itu dalam satu tempat bukannya tidak memunculkan ketegangan secara internal di antara kalangan tokoh dan ulama.
Awal mula perkembangan tarekat Tijaniyah di Jawa Barat dari pondok pesantren Buntet yang di awali dengan pengangkatan tiga ulama sebagai perintis utama (muqaddam) di Indonesia. Tiga ulama yang dimaksud adalah mbah ‘Abbas, kyai Anas dan kyai Akyas. Tarekat Tijaniyah didirikan pada tahun 1196 H/1781 M oleh ulama besar Abu ‘Abbas Ahmad Attijani (1150 H/1737 M) dari Fez, Algeria. Kemudian pada tahun 1920-an Syekh Ali al-Thayib al Madani dan Abu Hamid al Futi menyebarkan tarekat ini di Indonesia, khususnya di Jawa Barat dan Jawa Timur. Penyebarannya melalui kitab al-Munyat al-Tariqah al-Tijaniyah dankitab al-Munyat al-Murid.
Salah satu ajaran doktrin Tijaniyah adalah embaca wirid “istighfar”,“shalawat” dan “laailahaillallah” masing-masing sebanyak 100 kali. Ajaran ini mensyaratkan kepada pengikutnya untuk tidak menjalankan amalan tarekat lain. Pengikutnya dijanjikan akan mendapatkan perlindungan khusus pada hari akhir (yaumil akhir) nanti. Selain itu, tarekat ini mengajarkan doktrin wirid bacaan “shalawat Jawharat al-Kamal” yang diyakini bias mempertemukan pembacanya dengan nabi Saw dan para sahabatnya. Dengan demikian, Tijaniyah enjadi tarekat yang eksklusif dengan klaim bahwa tarekatnya adalah tarekat terakhir dari perkembangan tarekat-tarekat sebelumnya.
Dilihat dari doktrin yang diajarkan, pada awal kehadirannya di Indonesia, doktrin Tijaniyah tak heran mengundang kontroversi dan kritik tajam dari tarekat Naqsabandiyah, Syattariyah, Syadziliyah dan Khalwatiyah. Kritik yang sangat tajam dilontarkan oleh seorang ulama keturunan arab, Sayyid Abdullah b. Shadaqah Dahlan bahwa : doktrin Tijaniyah itu doktrin yang menyesatkan, di samping itu ulama dan mufti di Mesir dan Maroko telah menolak kebenaran doktrin tersebut”.
Oleh karena itu, pada tahun 1931 M, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi social dan keagamaan yang terbesar di Indonesia mendiskusikan dan memperdebatkan keabsahan dan eksistensi Tijaniyah dalam kongres NU ke 6 di Cirebon. Meskipun dalam kongres NU tersebut dinyatakan bahwa Tijaniyah bias diterima sebagai doktrin tarekat. Namun nyatanya kontroversi terhadap doktrin ini tetap berlangsung dan kritikan serta tekanan (critic and pressure) masih terus menerus dilontarkan oleh tarekat-tarekat lain.
Bahkan pada tahun 1980-an pengamalan Tijaniyah oleh Kyai Abbas dan saudaranya mendapat kecaman dari seorang ulam Cirebon di luar NU. Di samping itu, kecaman lain datang dari kyai As’ad, tokoh ulama NU dari pondok pesantren Kramat, Pasuruan, Jawa Timur. Kecaman yang diberikan adalah pengedaran terjemahan kitab yang berisi koreksi terhadap doktrin Tijaniyyah. Oleh karenanya, pada Muktamar NU ke 27 di pondok pesantren Situbondo Jawa Timur kembali memperdebatkan keabsahan dan eksistensi tarekat ini. Akhirnya keputusan Muktamar NU tersebut tetap mengakui keabsahan dan eksistensi tarekat tersebut. Dengan kata lain, usulan kyai As’ad sama sekali tidak didukung oleh para ulama NU lainnya.
Secara teologis, kalangan Tijaniyyah sendiri tidak pernah bersikap eksklusif dari perdebatan itu. Pada tahun 1991 atas saran para tokoh dan ulama sesepuh pndok pesantren Buntet sendiri sebagai alahsatu basis kekuatan NU di Jawa Barat pada satu sisi dan sebagai basis perkembangan tarekat Tijaniyyah di sisi lain, untuk diselenggarakannya halaqah dalam meperdebatkan kasus Tijaniyyah. Dalam proses berlangsungnya halaqah ini ada hal yang menarik, yaitu, dinamika pemikiran ilmiah, terbuka dan kritis tampak di sini. Ketika ulama-ulama muda NU mempertanyakan keabsahan doktrin Tijaniyyah berdasarkan sumber-sumber yang dirujuk oleh penentangnya, kalangan ulama Tijaniyyahmeresponnya dengan argument dari perspektif ajaran doktrin Tijaniyyah sendiri. Dengan argument itu, kalangan tokoh dan ulama tarekat Syattariyah pondok pesantren Buntet mendukung dan menerima keabsahannya.
Dalam konteks ini, pondok pesantren Buntet diakui oleh banyak peneliti sebagai salah satu starting point proses perkembangan tarekat di Indonesia. Yang signifikan dari tarekat ini berdasarkan pengamatan yang mendalam, ternyata implikasi dari gerakan tarekat inimenjadikan posisi pondok pesantren Buntet sebagai salah satu kekuatan politis tradisional. Misalnya keterlibatan tokoh, ulama dan alumni ondok pesantren ini dalam berbagai gerakan politik nasional dan jabatan-jabatan politis di pemerintahan.
Adalah sebuah pengakuan histories bahwa pada masa kepemimpinan mbah ‘Abbas pondok pesantren berkembang pesat dalam bidang pendidikan umum dan keagamaan. Yang dikembangkannya adalah system dan metode pengajaran serta mata pelajarannya baik dalam khazanah tradisional maupun modern. Dengan demikian yang membedakan dengan para pendahulunya (muqaddam) adalah bahwa beliau mengembangkan dan mepraktekkan system pendidikan dengan metode halaqah (seminar) dan madrasi, di samping mempraktekkan metode klasik, sorogan, bandongan dan ngaji pasaran.
Sebagaimana tampak di sini, selain kitab-kitab klasik yang dajarkan oleh para pendahulunya namun kitab-kitab modern juga diajarkannya seperti ushul fiqih, tafsir-tafsir kontemporer seperti tafsir karya Thantawi al Jauhari –tafsir yang membahas berbagai ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan biologi, tafsir filsafat karya Fachrur Razi dan sebagainya. Dalam mengajarka ilmu fiqih, beliau memberi pandangan (worldview) yang begitu luas mengenai perbandingan madzhab-yang pada masa itu di pondok pesantrenlain masih dianggap tabu. Sedangkan kitab-kitab umum modern yang beliau diajarkan adalah Ilmu Hisab (Aritmatika), al-Jughrafiyyah (Geografi), al-Lughatul Wathoniyah (Bahasa Indonesia), Ilmu Thabi’iyyah (ilmu Alam) dan Tarikh al Wathaniyah (sejarah kebangsaan).
Kepiawaian mbah ‘Abbas sebagai ulama tidak hanya mengajarkan ilmunya kepada santri-santri di pondok pesantren Buntet, tapi juga di Mekkah al-Mukarromah pada waktu beliau belajar. Di kota suci itu, beliau mengajarkan ilmunya kepada para mukimin –orang-orang yang tinggal di Mekkah. Santrinya antara lain, KH. Cholil (Balerante, Palimanan, Cirebon), KH. Sulaiman (Babakan, Ciwaringin, Cirebon) dan lainnya.
Bagi Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, mbah ‘Abbas adalah bukan sekedar santri biasa, namun santri yang memiliki banyak kelebihan, baik dalam bidang ilmu pengetahuan agama maupun ilmu bela diri (kedigjayaan).
Selain kiprahnya sebagai ulama yang selalu hidup disetiap huruf pada ilmu yang telah diajarkannya, mbah ‘Abbas juga mempunyai ilmu kedigjayaan yang luar biasa dan seorang pejuang. Pada tahun 1900-an beliau tiba-tia diundang oleh KH. Hasyim Asy’ari untuk segera datang ke pondok pesantren Tebuireng, Jombang. Pada waktu itu, di pondok pesantren Tebuireng sering muncul kekacauan dan keonaran sehingga terkadang mengganggu ketentraman dan kedamaian pondok pesantren. Di samping itu, di Tebuireng juga sedang dilanda wabah penyakit yang memprihatinkan.
Oleh karena itu, berangkatlah beliau beserta kakak kandungnya, KH. Soleh Zamzam (Bendakerep), KH. Abdullah (Panguragan) dan kyai Syamsuri, Wanantara. Alhasil dengan pertolongan Allah Swt. Pondok pesantren Tebuireng yang sedang mengalami kesulitan dan musibah dapat teratasi.
“ketika Bung Tomo datang berkonsultasi kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan dimulainya perlawanan rakyat terhadap imperialis Inggris, beliau menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai lebih dahulu sebelum mbah ‘Abbas datang ke Surabaya”. Sebagaimana dituturkan Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML.
Sebagai pejuang bagi bangsa dan Negara Indonesia, mbah ‘Abbas telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya. Beliau adalah pemimpin rombongan pejuang Cirebon yang berangkat dengan kereta api menuju Surabaya. Sebelumnya beliau diminta datang ke Surabaya sebelum dimulainya pertempuran tersebut oleh KH. Hasyim Asy’ari, pimpinan pondok pesantren Tebuireng dan Rois Syuriyah NU, ketika Bung Tomo minta restu kepadanya. Oleh sebab itu, beliau seringkali diminta bantuan khusus yang berhubungan dengan kepintarannya misalnya untuk menetapkan hari perlawanan terhadap imperilais Inggris yang sebelumnya diminta oleh Bung Tomo.
Tercatat dalam sejarah Indonesia dan sejarah pondok pesantren Buntet sendiri, bahwa pada pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya, pera mbah ‘Abbas bersama KH. Anas dalam perjuangan melawan imperialis Inggris sangat menentukan nasib bangsa Indonesia. Atas restu KH. Hasyim Asy’ari, beliau terlibat langsung dan bahu membahu dengan para pejuang lainnya dalam pertempuran tersebut. Bahkan beliau juga mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hizbullah ke berbagai daerah pertahanan melawan imperialis yang hendak menduduki republic Indonesia, misalnya ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan sebagainya.
Sebuah kenyataan, bahwa pada masa imperialis baik imperialis Belanda, Jepang dan Inggris, pondok pesantren Buntet menjadi basis Hizbullah. Hizbullah adalah sebuah organisasi perjuangan umat Islam pada era revolusi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi kekuatan generasi muda Islam yang bertujuan menghapuskan imperialisme di bumi Indonesia. Hizbullah juga merupakan kekuatan yang tangguh dan disegani musuh. Kekuatan itu didapatkan dengan latihan-latihan berat yang dididik oleh Pembela Tanah Air (PETA) di Cibarusa di masa imperialis Jepang.
Selain itu, pondok pesantren Buntet juga sebagai basis Sabilillah. Sabilillah adalah sebuah organisasi perjuangan umat Islam yang didirikan sebagai reaksi spontan melawan imperialis. Organisasi ini di pondok pesantren Buntet diketuai oleh mbah ‘Abbas dan KH. Anas dan dibantu oleh ulama lainnya semisal, KH. Murtadlo, KH. Sholeh dan KH. Mujahid. Anggotanya terdiri dari kaum tua militant. Pada era pergerakan nasional, tokoh Hizbullah yang berasal dari Cirebon adalah KH. Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas. Tentara Hizbullah memusatkan pertahanannya di wilayah Legok, kecamatan Cidahu kabupaten Kuningan ketika melakukan perang gerilya melawan imperialis Inggris.
Seanjutnya pada masa perang kemerdekaan di pondok psantren Buntet juga dikenal adanya Asybal. Asybal adalah sebuah organisasi anak-anak yang berusia di bawah 17 tahun. Atas prakarsa pemikiran para kyai sepuh Buntet, organisasi ini dibentuk sebagai pasukan pengintai untuk mengetahui gerakan musuh sekaligus sebagai penghubung dari wilayah pertahanan sampai ke wilayah front terdepan. Para pahlawan yang gugur dalam pertempuran pada era kemerdekaan antara lain, KH. Mujahid, KH. Akib Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi dan lain-lainnya.
Pada hari Ahad 1 Rabi’ul Awwal 1365 H/1946 M, di usia 64 tahun, mbah ‘Abbas dipanggil ke haribaan sang Khaliq setelah menunaikan ibadah shalat Subuh dan dibumikan di pemakaman pesantren Buntet. Beliau sangat terejut dan kecewa dengan terjadinya penandatanganan dalam perjanjian Linggarjati tahun 1946. sebagai seorang pejuang yang langsung terjun di lapangan untuk bergabung dalam tentara Sabilillah, beliau sangat kecewa dengan hasil perundingan tersebut, sebab hasil perundingan antara pemerintahan Republik Indonesia dan imperialis Belanda banyak mengecewakan pihak tentara Republik Indonesia.
0 $type={blogger}:
Posting Komentar